Oleh: Rahmat Mustari
______
SEKIRA jam sepuluh malam si suami dan si istri masih bercengkerama di galampa (bahasa Galela: sebutan untuk teras dapur). Teras dapur tepat di bibir pantai, menghadap laut. Tubuh si istri merebah di dinding dapur yang terbuat dari gaba sembari memapah si kecil yang baru berusia setahun lebih–anak ketiga, di atas galampa yang tidak diatapi matanya menatap layar langit yang hitam. Si suami memandang laut yang tenggelam dalam kegelapan sambil menanti bulan cepat tiba. Dan menerangi. Dia akan mendayung perahu yang tak bersemang sampai di titik tertentu di tengah laut, melepas jangkar, nilon dan kail. Dengan tabah bersabar menunggu umpannya dimakan ikan. Bulan, bintang, arah arus, dan juga angin adalah penanda bagi mereka. Menjadi kerangka-perspektif yang membentuk kerangka hidup mereka dengan alam.
Ada dua puluh empat rumah. Dua belas rumah menghadap laut dan dua belas rumah lagi membelakangi laut dengan rata-rata setiap galampa di rumah-rumah itu tidak beratap. Di atas galampa langit terlihat terbuka dan telanjang. Galampa menjadi tempat mereka berhubungan dengan laut dan langit. Seolah melihat hubungan; laut, langit dan nasib mereka sebagai manusia pulau. Tetapi, tanpa bulan dan bintang tak ada yang dapat dilihat sebagai penanda, seolah-olah semua berada di kejauhan sana dan tenggelam dalam kegelapan. Tak ada yang bisa dikepit. Apatalagi jadi kepalan. Hanya suara ombak yang membentur karang pulau di bagian barat selalu menyisakan gelegar yang tak pernah tumbuh menjadi gelegar hati mereka sendiri.
Pulau Tawale, pulau kecil di ujung selatan pulau Kasiruta. Menurut cerita, medio Canga dan Kapita, pulau Tawale adalah tempat persinggahan para Canga sembari membawa tubuh dan kepala yang masih berdarah dan hasil rampasan seperti emas, perempuan, makanan, dari kapal-kapal yang melintas di selat pulau Bacan dan Kasiruta. Daging dan tulang yang sudah terpenggal-penggal itu lalu dibuang dalam gua batu. Mereka akan memburu setiap kapal yang melintasi selat ini. “Hanya mereka yang punya kulit yang bisa lolos,”,tutur mantan kepala dusun Pulau Tawale. Dari sekadar persinggahan saja, berlalu waktu pulau kecil ini menjadi sebuah kampung orang Galela dan Tobelo.
Si suami lahir dan tumbuh besar di pulau ini. Dalam dirinya mengalir darah suku Boeng-Tobelo. Si istri dari Kasiruta berdarah Seri Godoba di Galela. Dari sulbi si suami dan rahim si istri lahir tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Sebagai nelayan, masih subuh buta si bapak sudah bangun. Menyiapkan peralatan mancing, nilon, kail, jangkar, dayung dan membersihkan perahu, menyiram darah ikan yang membeku di dinding perahu. Si suami lalu membangunkan istrinya yang masih tidur memeluk anak mereka yang bungsu sekadar untuk pamitan. Lalu segera mendayung perahunya dengan dayung kayu. Si istri ke kamar lagi, memeluk anaknya dan baru bangun kalau warna kuning keemasan telah menjadi batas langit di timur sana. Memasak makanan, air minum, mencuci pakaian dan sebagainya.
Tinggalkan Balasan