Tandaseru — Azwin Parasesa Thamrin bersama tiga kuasa hukumnya menggugat Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sanana ke Pengadilan Negeri (PN) Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara.
Gugatan tersebut dilatarbelakangi persoalan tunggakan kredit macet dari orangtua Azwin dengan jaminan rumah bersertifikat milik orangtuanya. Selain BRI, Azwin juga menggugat dua orang lainnya bernama Hartawati dan Herman.
Rabu (5/8) digelar sidang mediasi untuk kasus perdata tersebut. Dalam proses hukum ini, Azwin didampingi kuasa hukum Kuswandi Buamona, Zulfitrah Hasyim dan Fahmi Drakel.
Kuswandi kepada tandaseru.com mengungkapkan, kliennya mengajukan gugatan terkait masalah kredit tahun 2010 lalu atas nama orangtua klien. Kuswandi bilang, selama menjadi debitur di BRI, orangtuanya telah melakukan pembayaran angsuran kredit Rp 200 juta kepada tergugat sejak Mei 2010 sampai Maret 2011.
Angsuran per bulan besarannya Rp 2,5 juta. Maka dalam kurun waktu tersebut, orangtua klien telah membayar angsuran sebesar Rp 27,5 juta.
“Karena kesehatan orangtua klien saya terganggu, maka angsuran belum bisa terbayar sejak April 2011 hingga orangtua klien tutup usia pada 24 Agustus 2011,” terang Kuswandi, Rabu (4/8).
Kuswandi menambahkan, setelah orangtua klien meninggal dunia, pihak bank tak pernah memberikan peringatan SP1, SP2 dan SP3. Tiba-tiba pada akhir 2011 Hartawati datang dan meminta Azwin dan keluarga mengosongkan rumah milik mendiang orangtuanya itu.
Kuswandi menduga, BRI telah mengalihkan kredit kepada pihak lain, yakni Hartawati, tanpa persetujuan dari ahli waris. Begitu kredit lunas, Hartawati lantas menjual rumah tersebut kepada Herman.
“Harusnya pihak bank melakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UU Hak Tanggungan) apabila objek jaminan berupa tanah dan atau bangunan, atau lelang eksekusi atas fidusia sebagaimana dimaksud Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) apabila objek jaminan berupa barang bergerak, seperti kendaraan,” paparnya.
Azwin menambahkan, ia sebelumnya tak pernah berurusan dengan Hartawati dan Herman.
“Setahu saya kan almarhum Bapak hanya berurusan dengan bank. Jadi kita sebagai ahli waris tahunya hanya dengan bank,” tuturnya.
Azwin sendiri mengaku mengetahui kredit yang dilakukan ayahnya. Namun soal tunggakan ia sama sekali tak tahu.
“Untuk pemberitahuan dari pihak bank tidak ada sama sekali,” cetusnya.
“Kalaupun ahli waris lain memang benar ada saudara saya yang saat ini masih kuliah di Makassar. Sementara kakak tertua saya sudah menikah semua. Jadi yang tempati rumah itu adalah saya, dan saya yang bertanggungjawab penuh atas rumah itu. Kalau memang ada tunggakan, minimal ada petunjuk atau ada petugas bank yang memberitahukan. Tapi ini kan tidak ada sama sekali,” tegas Azwin.
Saat ini, rumah mendiang orangtua Azwin sudah ditempati pemilik barunya, Herman. Sebelum meninggalkan rumah yang terletak di Desa Fogi, Kecamatan Sanana tersebut pada Desember 2011, Azwin mengaku didatangi Hartawati yang mengultimatumnya agar mengosongkan rumah pada Januari 2012.
Mendengar apa yang dikatakan Hartawati, sontak Azwin terkejut.
“Saya terkejut, saya tanya ke Ibu Haja (Hartawati, red), kenapa saya harus kosongkan rumah? Ibu Haja beralasan, dirinya yang melanjutkan kredit orangtua saya karena sudah menunggak selama empat bulan,” jabarnya.
Pimpinan KCP BRI Sanana, Rahma yang ditemui di ruang kerja menyatakan sudah menghadiri sidang mediasi di PN Sanana.
“Selaku warga negara yang patuh terhadap hukum. Kalau untuk BRI sudah tidak ada masalah lagi, karena kreditnya sudah lunas. Tinggal urusan Pak Azwin sama Ibu Haja dan yang membeli rumah,” ucapnya.
Terkait sertifikat rumah yang saat ini masih berada di KCP BRI Sanana, Rahmat bilang pihaknya tidak berani memberikan sertifikat jika tidak ada tanda tangan semua ahli waris.
“Kalau orangtuanya sudah meninggal dunia, minimal harus semua ahli waris menandatangani. Kalau hanya Pak Azwin, kita pihak bank tidak berani menyerahkan sertifikat itu,” terangnya.
Sementara Hartawati dan Herman ditemui usai mengikuti proses mediasi di Kantor PN Sanana, enggan berkomentar banyak.
“Saya tidak mau komentar,” tangkis Hartawati.
Sedangkan Herman tergesa-gesa menaiki motor dan langsung meninggalkan Kantor PN Sanana.
Usai mediasi, PN memutuskan akan melanjutkan perkara tersebut.
Tinggalkan Balasan