Oleh: Syarifuddin Usman

Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP-UMMU dan Pengurus Wilayah ICMI Malut

________

DI era digital, kehadiran media sosial telah mengubah cara pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Salah satu fenomena yang muncul adalah keterlibatan buzzer dalam ranah komunikasi politik. Istilah “pemerintahan buzzer” kemudian digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana kekuasaan eksekutif diduga memanfaatkan jasa buzzer untuk membentuk opini publik, melawan kritik, dan mempertahankan citra di ruang digital. Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra, baik dari sisi efektivitas komunikasi publik maupun dari sisi etika demokrasi.

Secara umum, buzzer adalah individu atau kelompok yang memiliki kemampuan memengaruhi opini publik melalui media sosial, baik secara organik maupun terorganisir. Mereka biasanya dibayar atau diarahkan untuk menyebarkan pesan tertentu, mendukung tokoh, atau menjatuhkan lawan politik.

Sementara itu, pemerintahan buzzer mengacu pada kondisi di mana pemerintah secara langsung atau tidak langsung menggunakan kekuatan buzzer sebagai alat komunikasi politik. Hal ini bisa terjadi melalui kerja sama formal, jaringan relawan, atau kelompok anonim yang bekerja di balik layar.

Pemerintahan yang memanfaatkan buzzer biasanya memiliki beberapa tujuan strategis, di antaranya mengamankan legitimasi politik di tengah tekanan atau kritik publik, mengontrol narasi digital dalam isu-isu sensitif atau kontroversial, menyerang oposisi atau kelompok kritis, baik secara terang-terangan maupun terselubung, dan meningkatkan popularitas pemimpin dan menjaga stabilitas opini publik.

Strategi yang digunakan termasuk Penyebaran tagar tertentu secara masif (trending topic engineering), Pembuatan akun palsu atau bot untuk memperbanyak suara dukungan, framing isu tertentu dengan narasi positif atau defensif, Disinformasi atau manipulasi informasi.

Otoritarianisme Digital

Dampak positif dari pemerintahan buzzer bisa dikatakan pemerintah dapat lebih cepat merespon opini publik. Membuat komunikasi politik lebih dekat dan cepat ke masyarakat dan Informasi program pemerintah bisa tersebar lebih luas.

Sementara dampak negatifnya adalah merusak etika komunikasi politik, meningkatkan polarisasi dalam masyarakat, dan menurunkan kepercayaan publik jika disertai manipulasi informasi, serta membungkam kritik dan merusak demokrasi deliberatif.

Menurut Nugroho (2020), penggunaan buzzer secara intensif justru dapat menciptakan “otoritarianisme digital”, di mana ruang publik tidak lagi sehat karena dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu.

Otoritarianisme digital adalah bentuk baru dari kekuasaan otoriter yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengendalikan masyarakat.

Istilah ini merujuk pada praktik-praktik seperti, pengawasan massal terhadap warga negara, sensor internet dan pemblokiran situs kritis, manipulasi algoritma media sosial, penerapan hukum siber yang mengekang kebebasan, dan penggunaan buzzer dan disinformasi untuk membentuk narasi tunggal.

Menurut Howard et al. (2017), otoritarianisme digital tidak hanya terjadi di rezim otoriter, tetapi juga mulai mengemuka di negara demokratis yang menghadapi ketegangan politik dan sosial.

Tantangan dan Etika Pemerintahan Digital

Pemerintah di era digital seharusnya mengedepankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Pemanfaatan buzzer yang tidak etis bertentangan dengan semangat demokrasi, terutama jika digunakan untuk menyerang warga negara atau membungkam kebebasan berekspresi.

Solusi yang bisa dipertimbangkan adalah, perlunya regulasi yang jelas tentang komunikasi politik digital, adanya pengawasan independen terhadap aktivitas digital pemerintah, memperkuat literasi digital masyarakat untuk membedakan informasi dan propaganda serta adanya etika komunikasi yang harus dipegang oleh pejabat publik.

Penutup

Pemerintahan buzzer merupakan fenomena kompleks yang mencerminkan transformasi komunikasi politik di era digital. Meski memiliki potensi untuk mempercepat penyebaran informasi, praktik ini bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi jika tidak diatur dengan baik. Diperlukan kehati-hatian, regulasi, dan kesadaran etis dalam menyikapi fenomena ini agar ruang digital tetap menjadi tempat yang sehat bagi pertukaran gagasan dan kritik yang membangun. (*)