Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_________
Banjir, air meluap di sertai segala akibatnya karena curah hujan yang tinggi, memang sesuatu yang normal, dan sudah begitu hukum sebab-akibatny. Ini mindset sebagian kita, bahkan pemimpin kita. Mindset “setelan pabrik”
BEBERAPA hari lalu, curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi di beberapa wilayah di Maluku Utara. Bukan kali pertama. Ada anomali cuaca menurut BMKG, prakiraan datangnya kemarau yang terlambat.
Ramai di media sosial efek curah hujan tadi. Banjir, longsor, luapan air menggenangi rumah warga, akses jalan yang terputus, dan lain-lain. Di Tidore, robohnya salah satu gardu PLN bikin lampu padam di sebagian wilayah kurang lebih 17 jam. Air PDAM berhenti, jaringan telepon seluler tak ada.
Di beberapa daerah terbaca kepala daerahnya sibuk memantau situasi. Dan kesibukan di tengah guyuran hujan itu jadi konten berita dan unggahan yang memantik pujian hingga simpati. Nyaris efek buruk curah hujan yang tinggi begini cenderung di terima sebagai sesuatu yang sudah taken for granted, sudah semestinya, rumus baku dan tak ada perdebatan.
Usai kepala daerahnya memantau dan mengambil keputusan yang sifatnya insidentil seperlunya, warga berbaur saling menolong, hujan reda dan media mengomersialisasi jadi berita, semuanya berhenti. Kembali ke “setelan pabrik”, biasa lagi seperti semula.
Banjir disertai segala akibatnya karena curah hujan yang tinggi, memang sesuatu yang normal, dan sudah begitu hukum sebab-akibatnya. “Rumus baku” ini yang terbangun dalam mindset sebagian masyarakat kita. Dan sikap kita cenderung “pasrah” menerimanya. Mau apa lagi, sudah begitu. Ini mindset pasrah. Bukan mengendalikan banjir tapi dikendalikan banjir. Padahal dalam batas-batas tertentu dan kasat mata, banjir dan luapan air, justeru terjadi karena “direncanakan”. Direncanakan melalui rencana kebijakan yang keliru, sama artinya merencanakan bencana.
Tapi lain ceritanya di jalan pantai kawasan Tugulufa, Tidore. Hujan dengan intensitas tertentu bisa jadi “berkah”. Saya sering menggunakannya jadi tempat cuci mobil, mumpung gratis. Genangan air di titik tertentu di badan jalan itu, hanya berbatas trotoar, untuk sekedar di alihkan ke laut.
Mengutip berita media MEKARNEWS.COM [22/06], salah satu anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan, meminta Dinas PUPR untuk membangun kembali penahan ombak di Kelurahan Dokiri. Penahan ombak di kawasan pantai yang dibangun sejak 2022 lalu, mengalami abrasi serta rusak akibat hujan deras yang terjadi pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Di sesi benchmark, ketika mengikuti diklat kepemimpinan level ll di tahun 2012, penyelenggara mengundang beberapa kepala daerah hebat di Indonesia saat itu untuk berbagi pengalaman membangun daerahnya. Salah satunya yang saya ingat betul, Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan. Nurdin yang pernah menjadi Gubernur Sulawesi Selatan itu, berbagi kiat bagaimana dia memulai menata Bantaeng di periode pertamanya, dalam kondisi latar daerahnya yang tak kompetitif di Sulsel.
Dia memutar otak. Koleganya para ahli dan akademisi diundangnya berdiskusi. Kesimpulan analisisnya bikin Cekdam. Itu yang pertama kali di buat sebagai variabel pengungkit, trigger. Hasilnya tepat. Memulai geliat masa depan daerahnya dari Cekdam, mengantar Bantaeng menjadi salah satu daerah yang kompetitif di Sulsel. Seperti apa gambaran Bantaeng di era Prof. Dr. Nurdin Abdullah di masanya, itu bisa dengan mudah dilacak.
Nurdin bukanlah orang atau kepala daerah pertama yang memulai pekerjaannya dengan metode yang tepat. Masih banyak yang lain. Tetapi center poin-nya ada pada cara seseorang memulai pekerjaannya.
Dari berbagai sumber, perencanaaan kota yang ideal adalah proses merancang dan mengatur pembangunan fisik, sosial dan ekonomi wilayah perkotaan untuk menciptakan kota yang berkelanjutan, fungsional, dan estetik, serta kualitas hidup penduduk yang baik. Kota dan pemukiman berkelanjutan adalah yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka juga. Banyak kota di dunia yang telah menyandang kualifikasi manusiawi ini. Padahal juga, indikator dalam Sustainable Development Goals [SDGs] oleh PBB untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup masyarat, sudah jelas dan tegas.
Di obrolan lepas, di kediaman seorang karib semalam, saya bercanda bahwa ada wacana tahun depan, Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] akan dilengkapi tenaga ahli dan planner di semua bidang. Aturan akan digodok. Musibah yang potensial merugikan APBN dan APBD karena dianggap ada kesalahan perencanaan fasilitas publik yang jadi pemicu bencana dan korban jiwa, akan kena delik pidana. Saya melanjutkan, jika ini terjadi maka bisa dipastikan assesment jabatan di pemerintahan daerah seperti Dinas PUPR, Perkim, akan sepi peminat. Tidak seperti saat ini. Dan tawa lepaspun pecah. Rintik hujan yang masih tersisa sejak sore, “melerai” obrolan ini. Hujan, yang menghasilkan genangan, luapan, longsor, hingga banjir, tanpa ada perlakuan lain seperti yang dipikirkan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah tadi. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan