Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
________
“Diperlukan keberanian dan keadilan ekologi. Bila tidak, tambang akan terus menjadi sumber luka, bukan kesejahteraan”
PERSOALAN tambang beberapa tahun belakangan ini begitu marak, agresif, dan massif, tidak hanya memberi dampak secara ekonomi, tapi justru melahirkan persoalan baru : lingkungan tercemar, hilangnya ruang hidup warga, kriminalisasi atas warga, dan nilai-nilai tradisi lokal yang tergerus. Ini kemudian memantik pertanyaan mendasar: “sebenarnya tambang dengan dalih kesejahteraan untuk siapa?”
Pertanyaan “tambang untuk siapa?” mengandung muatan kritik mendalam atas arah pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi sumber daya alam, terutama di kawasan timur Indonesia.
Memang dalam dua dekade terakhir, ekspansi industri tambang meluas secara agresif, massif, dan mengklaim ruang hidup masyarakat lokal demi kepentingan investasi nasional dan global.
Alih-alih menyejahterakan rakyat, praktik ini justru sebaliknya, menimbulkan konflik agraria, kerusakan ekologis, dan marginalisasi sosial-ekonomi. Maka penting untuk membedah, “untuk siapa sebenarnya tambang dijalankan?”
Tambang beroperasi dalam logika kapitalisme ekstraktif yang menekankan pada eksploitasi sumber daya alam demi akumulasi keuntungan, bukan keberlanjutan kehidupan (Moore, 2015 : 78).
Di Indonesia, pendekatan ini dikukuhkan melalui kebijakan deregulasi dan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang massif, terutama pasca Otonomi Daerah 2001. Pemerintah daerah yang sebelumnya bergantung pada dana pusat, kini berlomba-lomba mengundang investor tambang sebagai jalan pintas pembangunan.
Berangkat dari data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hingga tahun 2023 terdapat lebih dari 8.800 IUP yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan konsentrasi tinggi di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara (JATAM, 2023). Wilayah-wilayah ini kaya akan nikel, emas, batu bara, namun minim infrastruktur dan layanan dasar, yang menunjukkan kontradiksi antara sumber daya dan kesejahteraan.
Pertanyaan kunci adalah siapa yang paling diuntungkan dari aktivitas tambang?
Dalam praktiknya, keuntungan besar diraup oleh perusahaan nasional maupun multinasional, sementara masyarakat lokal justru menanggung beban sosial dan ekologis. Terdapat asimetri kepemilikan dan kontrol antara korporasi dan warga lokal.
Tania Murray Li dalam The Will to Improve mencatat bahwa pembangunan acapkali dijustifikasi atas nama “kemajuan” sambil mengabaikan konteks lokal (Li, 2007 : 17).
Pada sebagian wilayah Halmahera misalnya, ekspansi tambang nikel didorong dengan janji lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur. Namun faktanya, tenaga kerja lokal hanya mengisi posisi kasar, sementara posisi strategis diisi oleh tenaga kerja luar. Sementara itu, masyarakat adat kehilangan lahan, rusaknya sungai dan laut sebagai sumber pangan, serta meningkatnya konflik internal (Tadjoeddin, 2014 : 89).
Dampak sosial pertambangan mencakup pemiskinan struktural, migrasi, dan perubahan struktur sosial. Studi oleh Bebbington et al., memperlihatkan bahwa tambang acapkali menimbulkan resource curse atau kutukan sumber daya, di mana daerah kaya sumber daya justru mengalami stagnasi ekonomi dan konflik sosial (Bebbington, et al., 2018 : 162).
Secara ekologis, tambang membawa kerusakan jangka panjang, mulai dari : deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut laporan WALHI (2022), menunjukkan, limbah tailing nikel telah mencemari perairan pesisir di salah satu pulau di Maluku Utara, mengurangi hasil tangkapan nelayan dan memicu penyakit kulit pada masyarakat sekitar.
Keadilan Ekologis
Negara acapkali berdiri di sisi investor, bukan rakyat. Hal ini tampak dalam kemudahan perizinan tambang, kriminalisasi warga penolak tambang, serta penggunaan aparat keamanan untuk melindungi operasional perusahaan. Menurut Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, negara dalam konteks pascareformasi justru memfasilitasi oligarki ekonomi yang menguasai sektor-sektor strategis termasuk tambang (Hadiz dan Robison, 2013 : 45).
Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020 juga menuai kritik karena dianggap lebih berpihak pada kepastian usaha bagi korporasi ketimbang perlindungan lingkungan dan hak masyarakat. Dalam hal ini, “tambang untuk siapa” adalah pertanyaan politis yang menyingkap relasi kuasa antara negara, pasar, dan rakyat.
Pertambangan yang adil seharusnya menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Keadilan ekologis bukan hanya soal distribusi manfaat ekonomi, tetapi juga pengakuan terhadap hak-hak ekologis komunitas adat dan lokal (Schlosberg, 2007 : 35). Ini mencakup hak atas informasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan hak menolak.
Model pertambangan berbasis komunitas yang berorientasi pada keberlanjutan bisa menjadi alternatif. Di beberapa wilayah Amerika Latin, inisiatif seperti Buen Vivir (hidup baik) menolak logika ekstraktif dan menekankan keharmonisan antara manusia dan alam (Gudynas, 2011 : 445).
Pertanyaan “tambang untuk siapa?” membuka ruang refleksi terhadap arah pembangunan dan keberpihakan negara. Jika tambang terus dijalankan dalam kerangka ekstraksi, akumulasi, dan pengabaian hak masyarakat, maka jawabannya jelas : tambang bukan untuk rakyat. Sebaliknya, tambang menjadi alat akumulasi elit ekonomi dan politik yang memarjinalkan masyarakat lokal dan merusak ekologi pulau-pulau.
Untuk itu, diperlukan keberanian politik dan visi baru tentang pembangunan yang berbasis pada keadilan ekologis, penghormatan hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta keberlanjutan jangka panjang. Bila tidak, tambang akan terus menjadi sumber luka, bukan kesejahteraan. (*)
Tinggalkan Balasan