Oleh: Anwar Husen

Mantan Kadis Pariwisata Provinsi Maluku Utara, Tinggal di Tidore

_______

Timnas Jepang dan suporternya, hanya sedang mempraktikkan apa hakikatnya, city branding itu. Dia orisionil, spontan, tanpa basa-basi, dan tidak munafik. Kita harus menirunya, bukan berpura-pura meniru.

SAYA terpikir memformat ulang ini, tulisan lama saya tiga tahun lalu, berjudul “Timnas Jepang dan Konsep City Branding Tidore” saat Event Piala Dunia 2022 di Qatar, yang dimuat media www.pikiranummat.com (8/12/2022) ini, usai menyimak sebuah potongan video pendek yang unggah karib Guntur Alting, kemarin. Ada pengamat bola, yang mengomentari kans tim nasional kita, proyeksi Piala Dunia 2026 di ronde 4 nanti, kala menghadapi tim-tim kuat Asia lainnya. Juga, analisis tentang prospek sepak bola Indonesia di masa depan.
**********

Pagi ini (Kamis,08/12/2022), saya membaca dua potongan berita. Di sebuah media online, ada pernyataan dari Kepala Bapelitbang Kota Tidore Kepulauan, tentang rencana tahapan Penyusunan City Branding Kota Tidore Kepulauan. Di platform X, saya membaca berita kepulangan timnas Jepang ke negaranya, dan di bandar udara, mereka disambut bak pahlawan oleh ribuan warga Jepang.

Apa sesungguhnya korelasi yang penting dari dua berita berbeda ini. Kota Tidore Kepulauan baru saja sukses menggelar event prestisius Sail Tidore 2022. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event ini mengusung tema global dan menantang: Tidore, Kota Warisan Dunia Perekat Bangsa-bangsa.

Di sudut yang lain, tim nasional sepak bola Jepang, baru saja membuat sensasi di World Cup Qatar 2022 dengan menumbangkan tim-tim raksasa, dan menjadi juara di fase grup.

Identitas Kota dengan City Branding

Kota, terutama kota besar, telah menjadi pelaku utama dalam hubungan geografis di tingkat regional maupun global dalam suatu negara. Setiap kota, adalah sistem berbeda dan setiap komponennya melakukan penetrasi dan bersinggungan satu sama lain yang terefleksi pada kesan ruang tersebut (Florek et.al.2006, sebagaimana di kutip Achmad Maulidi).

Secara sederhana, city branding (citra kota) bisa didefinisikan sebagai ciri yang memperkuat posisioning kota dalam kompetisi antar daerah/kota, kawasan ataupun global dari aspek “market value” yang membentuk identitas kota. Identitas kota sangat penting dalam upaya memasarkan segenap aktivitas di kota itu. Membentuk identitas kota dengan city branding bukanlah hal yang mudah mengingat tantangan yang utama adalah soal bagaimana usaha untuk membentuk suatu perlindungan citra kota yang koheren dengan karakteristik heterogen dan lintas area yang berbeda, dan dari kegiatan dengan beragam target pengguna. Namun di saat sama, juga membentuk komunikasi citra kota yang spesifik. Dan itu adalah hal yang unik, karena tidak semua kota dapat melakukan dengan cara yang sama untuk membentuk identitas kota.

DI indonesia, telah banyak daerah yang merumuskan city branding daerahnya. Tetapi faktanya, banyak juga yang hanya “diam di tempat”, karena branding-nya hanya sebatas logo, tak “bernyawa”.

Bali, adalah contoh paling monumental di Indonesia hingga saat ini yang berhasil membangunnya, sebagai kota pariwisata dan budaya yang mendunia. Sukses Bali hari ini, adalah buah dari serangkaian rumusan, kegiatan dan tahapan, dengan analisis akademik yang terukur, visioner dan berbasis kecenderungan pariwisata global. Bali membutuhkan waktu 25 hingga 30 tahun membangunnya untuk menjadi seperti hari ini. “Ingat Indonesia, Ingat Bali”, kurang lebih seperti itu target mereka membangun image masyarakat global. Catatan singkat ini hanya menyuguhkan Bali sebagai contohnya.

Lantas, bagaimana dengan Kota Tidore Kepulauan membangun city branding-nya. Secara umum terdapat 3 karakteristik dalam tahap city branding yang sedang berkembang, yakni, pertama, substansi citra. Kedua, konsumen citra, dan ketiga, bagaimana citra dapat di konsumsi.

3 hal di atas menjadi sangat penting jadi panduan filosofis dan langkah awal merumuskannya, untuk secara tepat dan punya daya magnet yang kuat dalam membangun branding kota.

Tema Sail Tidore di atas adalah entry point yang tepat menurut saya, jika kota ini mau di arahkan menjadi kota berbasis wisata sejarah dan budaya karena variabel ini yang paling mungkin dan memiliki nilai dan daya saing global. Tinggal bagaimana memformasinya menjadi sebuah konsep yang akademik, terukur, dan berdimensi jangka panjang. Karena suka atau tidak, branding kota adalah variabel natural dan hidup, yang berbasis identitas lokal dan spesifik, melekat pada keseharian, menjadi nafas dan denyut nadi warga kota. Dia tidak bisa terkesan “kering”, apalagi dipaksakan. Kita pernah punya slogan Kota Santri yang belum terkonsep, masih di bibir.

Kemudian soal bagaimana upaya “menjual” branding kota nanti, adalah hal yang secara simultan harus di konsepkan berbarengan. Banyak teori manajemen dan pemasaran produk, khusus produk pariwisata yang sukses serta best practices, kisah sukses banyak daerah yang bisa jadi rujukan.

Digdaya Timnas Jepang

Apa hubungannya membangun city branding Kota Tidore Kepulauan, dengan tim nasional Jepang di World Cup Qatar 2022?

Secara pribadi, saya amat terkesan dengan keseluruhan tim nasional sepak bola Jepang. Tak hanya itu, juga perilaku supoternya, selama mereka menjalani laga paling bergengsi ini. Saya mengikuti berita tim ini, dan menyebarkannya secara luas di akun media sosial. Apa semua itu, tim nasional sepak bola Jepang menjadi perhatian dan pembicaraan masyarakat bola dunia setelah prestasi mereka dengan berhasil menjadi juara di fase grup, mengalahkan raksasa Spanyol, juara dunia 2010. Juga menumbangkan Jerman, sang juara dunia 2014, dan terakhir menahan hingga ke babak adu penalti runner-up piala dunia 2018, Croasia. Dari segi market value, timnas Jepang mempertonton ini semua di arena paling prestisius, yakni di ajang pesta bola sejagat yang di laksanakan di negara paling kaya, di tonton langsung miliaran orang di seantero jagat, karena di siarkan langsung berbagai televisi dan platform media bereputasi dunia. Konon, prestasi yang di raih oleh Jepang saat ini adalah buah dari investasi sumber daya dan dana yang luar biasa untuk membangun tim nasionalnya yang tangguh sejak 20 tahun lalu.

Setelah resmi tersingkir setelah di kalahkan Croasia melalui adu pinalti, sang pelatih fenomenal Hajime Moryasu, membungkuk di lapangan menghadap penonton tanda hormat, permohonan maaf, terima kasih, dan pamit. Di ruang ganti, mereka meninggalkan catatan di secarik kertas buat panitia sebagai ucapan terima kasih, dan tak lupa meninggalkan ruang ganti dalam keadaan bersih, teramat mengagumkan.

Itu masih tim nasionalnya di lapangan. Belum lagi prilaku suporternya. Telah viral, prilaku suporter Timnas jepang teramat mengesankan, mengumulkan plastik yang di pakai untuk koreo saat mensuport timnasnya menjadi kantong untuk mengumpulkan sejumlah sampah yang tersisa di pertandingan itu, hal yang kini banyak di tiru prilaku suporter lainnya. Padahal juga, Timnas Nasional Jepang baru saja kalah. Tanpa mencak-mencak, apalagi hingga merusak fasilitas stadion seperti yang lazim terjadi. Di hari yang sama, saya membaca berita, Lomba Dayung pada sebuah event pariwisata di Maluku Utara, di kota Ternate, dihiasi sampah plastik yang sedang “bermain gelombang” di permukaan laut, sebuah pemandangan yang benar-benar paradoks.

Hampir semua aspek kehidupan di negara Jepang punya nilai branding-nya. Termasuk para pemimpin negaranya, punya personal branding yang kuat. Berbeda dengan kita, yang membangunnya penuh kepura-puraan, kepalsuan yang menjebak, bahkan hingga jadi “potensi bencana” dalam kehidupan bernegara.

Prilaku suporter Jepang tadi, murni etos. Prilaku yang terbentuk dan melembaga, karena penghayatan yang kuat terhadap nilai, dan bukan pencitraan. Heboh ini, bikin orang tambah penasaran untuk tahu lebih detail, apa sesungguhnya Jepang, bahkan hingga menelusuri ulang ajaran Religi Tokugawa, Bushido Ethics, dan lain-lain yang mengagumkan itu. Hampir semua aspek kehidupan di negara Jepang, punya nilai branding-nya. Termasuk para pemimpin negaranya, punya personal branding yang kuat. Berbeda dengan kita, yang membangunnya penuh kepura-puraan, kepalsuan yang menjebak, bahkan hingga jadi “potensi bencana” dalam kehidupan bernegara.

Bali butuh 30-an tahun membangun branding kotanya sebagai kota budaya. Tim nasional sepak bola Jepang butuh 20-an mem-branding dirinya, hingga jadi seperti saat ini, rangking Asia. Berkaca juga pada capaian rangking FIFA mereka di setiap fase. Dan kita, maunya instan, tanpa visi dan jerih payah. Kata teman, kita sedang bermimpi sambil berjalan, bukan sedang tertidur.

Tim nasional Jepang dan suporternya, hanya sedang mempraktikkan apa hakikatnya city branding itu. Dia orisionil, spontan, tidak berpura-pura, dan tidak munafik. Kita harus menirunya, bukan berpura-pura meniru. Wallahua’lam. (*)