Oleh: Ali Akbar Djaguna
Ketua Pemuda Muhammadiyah Pulau Morotai
________
DI republik ini, kalender selalu punya makna politis. Setiap tanggal tidak hanya mencatat hari libur dan hari besar, tapi juga menyimpan ekspektasi, tuntutan, bahkan kekecewaan. Dan dari sekian banyak hari yang terus berputar, ada satu segmen waktu yang begitu disakralkan dalam budaya politik kita: 100 hari pertama kerja pemimpin baru.
Tak ada yang tahu persis kapan kita mulai jatuh cinta pada angka itu. Mungkin karena warisan dari negeri adidaya yang pernah menyulap angka 100 sebagai masa bulan madu kepemimpinan. Atau mungkin karena dalam benak kita, 100 adalah angka bulat yang indah, mudah diingat, mudah dipakai dalam headline, mudah dijual sebagai simbol performa. Tapi apa pun alasan awalnya, yang jelas: kita kini hidup dalam republik 100 hari. Segala harap dan kecewa kita ringkas dalam durasi itu. Seolah-olah negara bisa disulap dalam waktu seratus matahari terbit. Seolah-olah warisan rezim sebelumnya bisa dihapus dengan cepat hanya karena ada pemimpin baru yang duduk di kursi kekuasaan.
Sejak hari pertama pelantikan, frasa 100 hari kerja pemimpin baru sudah menghantui ruang-ruang publik. Ia menjadi perbincangan di meja redaksi, topik diskusi di media sosial, bahan siaran di televisi, dan pokok pidato di banyak forum diskusi. Kita menunggu. Kita menghitung. Kita mencatat. Setiap keputusan dianalisis. Setiap kebijakan ditimbang. Setiap blusukan diberi nilai. Setiap gestur diartikan. Semua dalam kerangka: sudah sejauh apa kerja dalam 100 hari ini?
Ini bukan hanya tentang pemimpin. Ini tentang kita juga. Kita yang haus harapan. Kita yang terbiasa dikecewakan. Kita yang mulai percaya bahwa jika dalam 100 hari saja tidak ada perubahan berarti, maka masa depan pun akan sama saja. Kita memindahkan seluruh kekecewaan masa lalu ke punggung pemimpin baru. Kita titipkan semua mimpi pada hari-hari pertama yang sebenarnya rapuh itu. Kita lupa bahwa 100 hari pertama adalah masa penyesuaian. Masa orientasi. Masa memetakan masalah. Tapi kita maunya hasil, bukan proses.
Pemimpin baru pun tahu itu. Mereka tidak bisa tenang dalam masa awal kepemimpinan. Belum juga sempat duduk dengan nyaman, mereka sudah harus tampil. Sudah harus bicara. Sudah harus kunjungan ke pasar, sidak ke jalan rusak, blusukan ke kampung. Kamera harus merekam, media harus menulis, netizen harus membagikan. Karena kalau tidak, kesan lamban akan segera menempel. Kritik akan langsung berdatangan. Skor popularitas bisa langsung anjlok.
Maka mulailah atraksi. Kita disuguhi pertunjukan yang dirancang untuk terlihat seperti kerja keras. Kita lihat pemimpin turun ke jalan. Kita lihat pidato yang emosional. Kita dengar jargon yang dipoles untuk jadi viral. Semuanya agar rakyat tahu bahwa sang pemimpin bekerja. Tapi benarkah itu kerja? Ataukah itu sekadar koreografi untuk menyenangkan dahaga kita akan perubahan cepat?
Kita terjebak. Terjebak dalam keyakinan bahwa kecepatan adalah segalanya. Bahwa kerja harus tampak. Bahwa kerja harus bisa dihitung. Kita terlalu silau pada yang tampak luar. Padahal reformasi sejati sering kali berlangsung dalam diam. Perubahan struktur tidak bisa dilihat dalam waktu dekat. Penguatan institusi tidak bisa ditakar dengan pemberitaan. Tapi di republik 100 hari, semua harus segera. Semua harus tampak. Semua harus punya hasil sementara.
Padahal, negara bukan warung yang bisa langsung untung begitu ganti manajer. Negara adalah sistem rumit dengan warisan masalah yang menumpuk. Ada tumpang tindih kebijakan. Ada jaringan kepentingan yang saling sandera. Ada lembaga yang lemah tapi berpengaruh. Ada budaya birokrasi yang resisten terhadap pembaruan. Pemimpin baru masuk ke dalam semua itu, dan kita berharap dia bisa merombak semuanya hanya dalam 100 hari.
Ini bukan hanya ekspektasi yang tidak realistis. Ini juga jebakan. Karena ketika semua perhatian tertuju pada 100 hari pertama, kita lupa melihat ke tahun-tahun berikutnya. Kita terlalu fokus pada pembuktian awal, hingga lupa bahwa kepemimpinan adalah maraton, bukan sprint. Kita terlalu tergoda dengan penilaian cepat, padahal pembangunan butuh kesabaran dan konsistensi. Kita mudah puas jika pemimpin tampil enerjik di awal, meskipun kemudian gagal menjaga arah.
Dan ketika 100 hari lewat, kita akan mengeluarkan catatan. Kita beri nilai. Kita bandingkan dengan janji kampanye. Kita susun daftar pencapaian dan kegagalan. Lalu kita simpulkan: pemimpin ini berhasil atau gagal. Penilaian secepat itu, setajam itu, sering kali tidak adil. Tapi kita merasa berhak melakukannya, karena kita sudah menunggu. Kita sudah berharap. Kita merasa 100 hari cukup untuk tahu siapa dia sesungguhnya.
Padahal, penilaian seperti itu bisa jadi membunuh potensi. Pemimpin yang sadar bahwa ia akan dihakimi sejak hari pertama akan cenderung memilih kebijakan yang populis. Ia akan menghindari langkah-langkah tidak populer yang sebenarnya penting. Ia akan mengutamakan simbol daripada substansi. Ia akan bermain aman. Dan pada akhirnya, kita tidak benar-benar mendapatkan perubahan yang kita dambakan.
Maka kita harus bertanya: mengapa kita begitu terobsesi pada 100 hari kerja pemimpin baru? Apakah karena kita sudah putus asa pada proses panjang yang tak kunjung selesai? Atau karena kita tidak percaya bahwa reformasi struktural benar-benar bisa terjadi? Atau karena kita hanya ingin rasa puas sesaat, layaknya menyantap berita viral?
Bisa jadi, semua itu benar. Kita tumbuh dalam budaya instan. Kita diajarkan bahwa perubahan harus cepat, harus terlihat, harus dramatis. Kita tidak terbiasa merayakan perubahan kecil yang konsisten. Kita lebih suka spektakuler yang cepat usai. Maka 100 hari menjadi panggung utama. Sebuah sandiwara politik yang diulang setiap pergantian pemimpin.
Dan dalam sandiwara itu, media punya peran besar. Mereka membentuk persepsi. Mereka menentukan apa yang dianggap “kerja” dan apa yang tidak. Mereka pilih narasi yang laku dijual. Dan kita, sebagai publik, ikut menari dalam irama itu. Kita retweet, kita komentar, kita tertawa, kita marah. Semua dalam batasan frame yang disediakan oleh media. Kita tak sempat berpikir lebih dalam. Kita tak sempat bertanya, apakah benar kerja-kerja ini menyentuh akar masalah?
Padahal seharusnya, 100 hari pertama bukan soal pencapaian. Ia seharusnya jadi waktu mendengar. Waktu menyusun strategi. Waktu menjembatani janji dengan kenyataan. Tapi itu tidak laku di republik 100 hari. Diam dianggap lemah. Rencana dianggap retorika. Strategi dianggap alasan untuk menunda. Pemimpin dituntut bertindak, walau belum tahu pasti arah terbaik. Maka banyak dari mereka akhirnya bekerja bukan berdasarkan prioritas, tapi berdasarkan popularitas.
Kita yang menciptakan tekanan itu. Kita yang menolak sabar. Kita yang menolak memahami bahwa negara tidak bisa ditata ulang hanya dengan semangat tinggi. Negara butuh kesabaran sistemik. Butuh kerja jangka panjang. Butuh reformasi yang menyakitkan. Tapi siapa yang tahan menunggu? Siapa yang rela percaya pada kerja yang tidak tampak?
Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan rakyat sepenuhnya. Kita kecewa karena sudah terlalu sering dibohongi. Kita skeptis karena sudah terlalu banyak janji palsu. Kita waspada karena sudah terlalu sering dikhianati. Maka wajar jika kita mengawasi sejak hari pertama. Tapi kewaspadaan itu harus disertai dengan kebijaksanaan. Harapan itu harus disertai dengan kesadaran akan kompleksitas.
Kita harus mampu membedakan antara kerja yang sibuk dengan kerja yang efektif. Antara kerja yang populer dengan kerja yang berdampak. Antara kerja yang disukai media dengan kerja yang menyentuh kehidupan rakyat. Kalau tidak, kita hanya akan jadi penonton yang terus kecewa. Kita akan terus menyalahkan pemimpin, tapi tidak pernah bertanya tentang andil kita dalam menciptakan iklim politik yang dangkal.
Barangkali kita harus berhenti menghitung 100 hari. Barangkali kita harus mulai menghitung berapa banyak masalah struktural yang mulai disentuh. Barangkali kita harus mulai menilai bukan dari seberapa cepat, tapi seberapa jujur, seberapa berani. Karena pemimpin sejati bukan yang menyenangkan semua orang di hari-hari pertama, tapi yang berani mengambil risiko demi kebaikan jangka panjang.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa pemimpin bebas dari evaluasi. Tidak. Evaluasi penting. Kritik penting. Tapi evaluasi tidak harus terburu-buru. Kritik tidak harus selalu dalam tempo kilat. Kita butuh cara baru melihat kerja pemimpin. Kita butuh cara baru mendukung perubahan.
Karena kalau tidak, kita akan terus terjebak dalam daur ulang. Setiap lima tahun kita berharap. Lalu kecewa. Lalu berharap lagi. Lalu kecewa lagi. Dan dalam pusaran itu, kita lupa membangun kesadaran politik yang dewasa. Kita lupa bahwa perubahan tidak bisa hanya bertumpu pada satu orang di puncak kekuasaan. Perubahan harus jadi kerja bersama. Kerja kolektif. Kerja tanpa jeda.
Jadi, marilah kita rehat sejenak dari obsesi 100 hari. Mari kita luaskan cakrawala waktu. Mari kita tanam kesabaran sebagai bagian dari perjuangan. Dan yang paling penting: mari kita ikut bekerja. Karena jika kita terus menunggu pemimpin melakukan segalanya, sementara kita sendiri hanya jadi penonton yang cerewet, maka negeri ini akan terus berputar-putar dalam lingkaran kecewa yang sama.
100 hari hanyalah permulaan. Tapi masa depan republik ini tergantung pada lebih dari sekadar kalender politik. Ia tergantung pada cara kita semua melihat, memahami, dan mengambil bagian. (*)
Tinggalkan Balasan