Oleh: Asghar Saleh
________
FOTO lelaki bersorban dengan kacamata yang membingkai wajahnya yang teduh itu jamak ditemukan di rumah warga. Di bawah foto itu ada keterangan dalam bahasa Arab yang jadi penanda. “Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. Pendiri Sekolah Islam Al Khairaat sejak tahun 1930 di Sulawesi Indonesia”.
Di rumah saya dan rumah-rumah “Abnaul Khairaat” lainnya, foto ini adalah identitas yang tak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi lebih dari itu – ia semacam pengakuan akan ketokohan seorang ulama besar yang berkontribusi membangun negeri. Ada pertalian batin yang guyub. Ia tak sama dengan deretan foto Presiden yang terpilih melalui proses demokrasi yang sumir dan dibatasi dalam periode bernegara dengan “masa jabatan”. Karena itu “kami” merasa tidak perlu untuk memajangnya.
Dalam realitas sosial, sebaran foto Habib Idrus di rumah warga yang melintas batas Indonesia bagian Tengah dan Timur adalah bagian dari “historical necessary”. Sebuah keharusan sejarah yang tak dibatasi ruang dan waktu. Lahir di Yaman 15 Maret 1892, Habib Idrus berasal dari keluarga Al-Jufri – keturunan Rasulullah SAW dari jalur Sayyidina Husein. Pada tahun 1928, keluarga ini memutuskan datang ke Indonesia dengan tujuan menyebarkan Islam dan meningkatkan pendidikan di wilayah timur.
Pada tahun 1930 dalam usia yang masih muda, Habib Idrus mendirikan Al Khairaat – sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan di Palu Sulawsei Tengah. Pemilihan Palu karena daerah pertama yang didatangi yakni Ternate ternyata telah memiliki lembaga pendidikan Islam lewat pergerakan Muhammadiyah yang dipelopori oleh beberapa tokoh lokal seperti Arifin Patty, Abdullah Petrana, Ibrahim Tolangara dan Luth Haji Ibrahim.
Habib Idrus terkenal sebagai ulama yang sederhana dan sangat mencintai ilmu. Ia konsisten berdakwah dengan banyak keterbatasan karena masa itu, belum ada transportasi yang menghubungkan banyak pulau. Indonesia bagian timur memiliki kendala geografis dan keterbelakangan terutama di daerah pedalaman. Sekolah jadi sesuatu yang mahal dan terbatas.
Ia diterima karena memiliki kesabaran yang luar biasa. Sikapnya selalu menenangkan. Di tengah tekanan Jepang saat itu, Habib Idrus terus bergerak mengembangkan pendidikan. Ia meyakini pendidikan akan membebaskan dan pada akhirnya orang-orang akan berjuang untuk merdeka. Karena itu, murid-muridnya menyebutnya dengan “Guru Tua” – sebuah panggilan cinta. Sebuah “accolade” yang menjadikannya sangat spesial dan tak tergantikan.
Nanal Ainal Fauz, Kyai muda NU pengasuh pondok pesantren Mambaus Sa’adah di Pati Jawa Tengah menyebut Guru Tua sebagai ulama pejuang yang berjasa mengembangkan “ahlus sunnah wal jama’ah” sebagaimana yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari di tanah Jawa. Jejak perlawanan terhadap pendudukan Jepang dapat dibaca melalui pernyataan heroiknya seperti “Setiap ummat memiliki simbol kemuliaan, kemuliaan kita adalah merah putih”. Kyai Nanal menyebut secara terbuka Guru Tua juga menyatakan dukungan terhadap Presiden Soekarno lewat frasa patronasi : “Makmurkan negeri ini dengan pembangunan materiil dan spiritual. Buktikan pada masyarakat bahwa kamu mampu”.
Karena itu, Kyai Nanal berpendapat jika perkara usulan menjadi Pahlawan Nasional adalah sesuatu yang “wajib” direspon oleh negara. Guru Tua telah meninggalkan legacy yang sangat mahal. Al Khairaat kini memiliki lebih dari 1.600 cabang yang mengurus sekolah-sekolah di berbagai daerah. Aktivitas sosialnya bertebaran untuk menguatkan kehidupan bersama. Ia jadi perekat yang menyatukan saat kemanusiaan diretas oleh bara konflik beberapa tahun lalu.
Menjadi sebuah antitesa yang liar dan subyektif ketika seorang YouTuber Fuad Riyadi alias Fuad Pleret mempertanyakan kelayakan usulan Guru Tua menjadi Pahlawan Nasional. Saya menduga Fuad adalah generasi yang mewarisi cara pandang geo-politik di mana “jawa” adalah pusat dan daerah lainnya menjadi pinggiran. Barat dan timur dibedakan dalam status politik, sosial dan ekonomi. Ini cara pandang warisan kolonial yang dulu membelah Indonesia sehingga mudah saja dijajah. Menempatkan “Jawa” sebagai pusat juga masih berlaku dalam urusan gelar pahlawan nasional. Tak aneh jika Fuad menolaknya.
Ia miskin literasi sehingga tak pernah tahu jika sepanjang pergolakan menentang penjajah, hanya dua mutiara dari timur yang terbilang sukses. Yang pertama adalah Sultan Babullah Datu Sjah dari Ternate yang mengusir Portugis dan angkat kaki selamanya dengan rasa malu yang luar biasa dari bumi Maluku. Heroisme itu dilanjutkan oleh Sultan Nuku dari Tidore yang memaksa Belanda meninggalkan wilayah Moloku Kie Raha untuk selamanya. Jejak ini berbeda dengan kebanyakan “pahlawan” yang gagal dalam mengusir penjajah karena dibunuh, ditangkap dan dibuang. Dari riwayat perjuangan lewat pendidikan, kita tahu jika Guru Tua tak pernah ditangkap Jepang.
Karena itu perkara menolak Guru Tua lalu menyamakannya dengan “monyet” adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Fuad boleh mengklarifikasi tetapi gestur dan kalimat yang terlontar menunjukkan derajat kebenciaan yang tak berdasar. Saya tulis ulang kalimat Fuad yang kini viral. “Menyakiti pribumi termasuk di antaranya mengusulkan si siapa itu tadi -monyet- satu itu Idris Idrus bin Salim Aljufri menjadi pahlawan. saya bilang monyet karena saya sedang mengamalkan isi Quran, -penghianat- itu disebut monyet”.
Saya mulai membedahnya dengan narsisme “menyakiti pribumi”. Siapa pribumi yang dimaksud? Jika narasi ini bersumber pada usulan agar Guru Tua menjadi Pahlawan Nasional, dalam posisi sebagai apa Fuad berbicara. Tanpa pengakuan negara pun, Guru Tua adalah pahlawan yang abadi dalam memori kolektif orang-orang di bagian timur Indonesia. Orang-orang yang tumbuh dalam kultur dunia pendidikan yang membebaskan dari kebodohan dan ketertinggalan. Pahlawan di sini bukan mitos seperti superhero karangan Marvel tetapi ia adalah realitas yang universal dan humanis. Ia tak terjebak pada ruang dan waktu yang sarat dengan kepentingan.
Narsisme yang kedua berkaitan dengan kata “monyet”. Fuad mengutip surah Al-Baqarah ayat 65 sebagai dasar. Allah SWT berfirman : Sungguh kamu benar-benar telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari sabat, lalu Kami katakan kepada mereka – jadilah kamu monyet yang hina”. Di video klarifikasi, Fuad menyebut cerita tentang kaum Yahudi yang dikutuk menjadi monyet karena menentang perintah Allah. Sesuatu yang sama sekali tak relevan jika dikaitkan dengan kiprah Guru Tua.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di mesjid Nabawi menyebut dua makna penting dari surah ini. Yang pertama ; i tadau fi sabti – kalian melampaui batas dari aturan yang sudah ditetapkan. Diharamkan mencari ikan pada hari Sabtu. Namun orang-orang Yahudi melakukan rekayasa sehingga ikan-ikan itu tetap masuk ke dalam kolam mereka sebelum hari yang dilarang – karena hari itu dkhususkan untuk beribadah.
Makna yang kedua; konsekuensi dari yang melanggar janji itu adalah kutukan menjadi “qirodatan”. Bersumber dari “al qirodah” yang merupakan bentuk jamak dari “qirdun” atau monyet. “Qirodatan” berkelindan dengan “khoosi’iin” yang bisa dipahami sebagai metafora dari mereka yang menjauh dari kebaikan dan menjadi orang-orang yang dihinakan. Al-Jazairi menegasi status “haram” untuk menghalalkan sesuatu yang telah dilarang.
Dalam konteks ini, dimana relevansi surat Al-Baqarah 65 tentang pelanggaran kaum Yahudi hingga dihukum Allah melalui “kuunnu” yang tak terbantahkan itu dengan kiprah Guru Tua dalam dimensi dakwah dan pencerahan umat. Tak ada ketentuan tentang “sesuatu yang haram” sebagaimana tafsir Al-Jazairi.
Narsisme yang ketiga berkaitan dengan tudingan sangat kasar bahwa ulama yang dihormati ini adalah seorang “pengkhianat”. Berkhianat kepada siapa? Saya kesulitan menemukan alasan berbasis akal sehat dalam tudingan ini. Saya menduga Fuad adalah proxy yang dipelihara “kekuasaan” untuk memecah belah persatuan umat. Ada kekuatan gelap yang menyerang keberadaan para “Habait” karena dari jejak digitalnya – Ia sebelumnya juga menyerang Habib Rizieq dengan tudingan a-nasionalis. Kita patut waspada terhadap gerakan seperti ini karena bertaut erat dengan ancaman terhadap masa depan bangsa.
Dalam bukunya “Architects of Deception – Secret History of Freemasonry”, penulis Estonia, Juri Lina memberi pengingat penting terkait keberlangsungan sebuah bangsa. Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama; kaburkan sejarahnya. Kemudian; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan terakhir; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif. Kita jangan sampai tersesat secara sadar di jalan ini.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, apa yang dilakukan Fuad adalah bagian dari “cyber hate” – ujaran kebencian dan perudungan di dunia maya yang dilakukan dengan memanfaatkan algoritma media sosial dan platform daring lainnya. “Cyber hate” terhadap Guru Tua adalah bagian dari kegoblokan unfaedah yang dinarasikan untuk kepentingan algoritma. Di masa ini, purbasyangka, ujaran kebencian, hoaks dan gestur kosong – meminjam Zizek yang menyebutnya sebagai sesuatu yang dibuat untuk ditolak – adalah jualan digital untuk menaikkan viralitas. Tak ada kebenaran di situ.
Saya sungguh berharap negara bersikap untuk menyelesaikan perkara ini dengan terang benderang. Ada keadilan dan rasa percaya yang perlu ditegakkan. Selama ini, kita selalu menaruh percaya karena negara menjanjikan apa yang kita sukai. Berkhidmat dan mengikutinya meski kadang cemas dan kecewa. Tapi benarkah tak ada keraguan saat yang kecewa itu kerap timbul tenggelam dalam kehidupan bernegara?
Filsuf Britania, Bertrand Russell memberi sebuah perlawanan terhadap kecenderungan manusiawi untuk mempercayai apa yang disukai. “Tak ada kepercayaan kita yang sungguh-sungguh tepat, semuanya punya setidaknya secercah ketidakjelasan dan kekeliruan”. Russell menyebut pendekatannya dengan “kehendak untuk ragu”. Jangan sampai “kehendak untuk ragu” itu menjadi sesuatu yang sublim. (*)
Tinggalkan Balasan