Oleh: Sahib Munawar, S.Pdi., M.Pd

________

MASALAH moralitas dalam dunia politik dianggap sebagai sesuatu yang kabur. Hal ini terjadi karena begitu banyak yang mengembangkan moral partisan, eksklusif dan tertutup.

Politik dicitrakan sebagai akal-akalan dan perebutan kekuasaan saja. Rakyat seolah kehilangan daulatnya sendiri karena ekonomi semakin tidak jelas arahnya akhirnya korupsi semakin merajalela dan kaum politisi sibuk mengurus dirinya sendiri atau memainkan kartu politiknya untuk kepentingan kaumnya dan oligarki diam-diam menggeser spirit demokrasi.

Dan agama yang diharapkan mampu mencerahkan malah tampil sebagai jubah atau topeng politisi untuk menggoda warga dengan dalil bahwa politik agama itu penting.

Politik uang dalam pemilihan umum baik dari tingkat daerah maupun nasional itu terus merajalela. Seperti halnya di daerah Maluku Utara kontestasi politik tanpa uang tidak akan berjalan dengan mulus atau istilah lain bisa menang dalam pertarungan. Bahkan agama juga dijadikan dagangan oleh elite politik yang berkuasa di daerah tersebut.

Pemilu yang bebas, jujur dan adil itu dipertanyakan oleh khalayak umum.
Apakah bebas, jujur dan adil dalam kontestasi politik demokrasi itu benar bersih? Buktinya banyak kecurangan pada saat pencoblosan sampai pleno/perhitungan suara dan paslon yang tidak senang dengan kemenangan oleh paslon yang lain akhirnya melakukan gugatan ke MK meskipun mengeluarkan uang ratusan juta rupiah asalkan gugatannya dapat diterima.

Negara penganut demokrasi belum tentu menjamin adanya sebuah sistem yang bebas kepentingan. Karena ketidakjujuran serta hukum yang seolah-olah mati suri ini menghasilkan manusia komperador. Manusia komperador cenderung mementingkan kepentingan diri serta golongannya tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.

Parahnya, perilaku korupsi kini menjadi budaya populer yang jauh akan adanya perasaan malu dan bersalah. Seolah-olah sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dipengaruhi oleh kepentingan asing.

Setidaknya hal ini terlihat dari sikap (kebijakan) pemerintah yang enggan menasionalisasikan beberapa perusahaan asing yang menguasai sektor-sektor yang seharusnya dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Terbukti seperti di Maluku Utara perusahaan yang dikuasai asing seperti di Halmahera.

Padahal sejatinya para pendiri bangsa menyerukan sosiodemokrasi agar pemerintah dapat menjamin kesejahteraan rakyat.

Sadar ataupun tidak kini Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara berkembang sedang mengalami proses industrialisasi dari pabrik pabrik negara negara maju.

Demokrasi ataupun sosiodemokrasi yang diyakini para pendiri bangsa sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat belum begitu sepenuhnya telah dijalankan secara ideal ditengah peta percaturan indutrialisasi yang semakin mengglobal.

Hal ini kemudian bermuara pada satu permasalahan dalam demokrasi Indonesia yang masih berproses yakni ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan perpolitikan Indonesia.

Dapat dianalogikan bahwa jika kita sebagai anggota dari sebuah organisasi, jika organisasi tersebut memperjuangkan hak-hak serta kepentingan anggotanya maka dapat dipastikan anggotanya akan menunjukkan kinerja serta loyalitas yang bagus pada organisasi tersebut.

Begitu pula dengan hubungan negara dan warga negaranya jika negara mampu mengayomi segala hak-hak dasar warganya maka sikap acuh terhadap negara akan sirna serta rasa nasionalisme akan tumbuh.

Karakter utama masyarakat Indonesia dan Maluku Utara pada khususnya yang cenderung pragmatis dengan adagium uang memang bukan segalanya tetapi segalanya butuh uang.

Ketika ilmu politik selalu tunduk pada ranah ilmiah empirik maka yang terlihat hanyalah pertarungan kekuasaan dan kepentingan. Tidak hanya ilmu politik, pengamat dan akademisi tapi organisasi juga ikut terlibat untuk memuluskan kepentingan politik oligarki.

Tatkala politik yang nampak hanyalah berupa kisah kisah buruk pertikaian sehari hari. Maka perlu kiranya khalayak dan politisi ini berfilsafat politik dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi. Berfilsafat politik berarti memandang secara reflektif pergumulan tata hidup manusia sehari hari.

Salah satu filsuf politik yang layak untuk dibahas adalah Jean Jacques Rousseau.

Pikiran Rousseau telah menjadi inspirasi eksperimen demokrasi bagi para revolusionis Prancis pada akhir abad 18. Dia begitu mengutuk monarki absolut dan masyarakat penindas serta menuntut kembalinya kebebasan manusia.

Pemikiran Rousseau telah menjadi pemikiran filsafat klasik. Hal ini berarti pemikirannya tersebut relevan untuk berbagai zaman, lintas ruang dan waktu.

Dengan melihat kembali pemikiran filsafat politik Rousseau diharapkan sidang pembaca memiliki gambaran pada makna kebebasan moral dan politik.

Rousseau tentang kontrak sosial dan kedaulatan rakyat. Rousseau berargumen bahwa kebebasan adalah suatu keadaan tidak terdapatnya keinginan manusia untuk menaklukan sesamanya. Manusia merasa bebas dari ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya baik secara persuasif maupun kekerasan.

Selain itu dia juga beragumen bahwa manusia bebas adalah manusia yang patuh pada hukum dan peraturan (mematuhi hukum bukan yang membuat hukum) tetapi tidak menjadikan dirinya budak sehingga kebebasan yang dimiliki tidak mengarah pada anarki sosial.

Manusia bebas inilah yang kemudian bersepakat untuk membentuk suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama inilah yang disebut sebagai kedaulatan rakyat.

Rousseau menginginkan kehidupan yang seimbang serta kebebasan yang nyata di dalam komunitas sederhana. Masyarakat seperti itu menurutnya tercipta dari kontrak sosial. Kontrak tersebut bukan bertujuan untuk membatasi namun menciptakan kebebasan dalam bentuk tertinggi.

Kedaulatan rakyat harus ditegakkan agar manusia dalam masyarakat dan negara tidak terasing.

Kedaulatan rakyat bermakna suatu pemerintahan diselenggarakan oleh rakyat dan bertanggung jawab pada rakyat. Dengan kedaulatan berarti rakyat menjalankan suatu pemerintahan dengan satu Politik.

Walaupun setiap rakyat memiliki pemikiran yang berbeda namun selama perbedaan tersebut membawa mereka pada kepentingan bersama maka kehendak rakyat itulah yang disebut Rousseau sebagai basis bagi konstruksi negara dan undang undang.

Pandangan Rousseau terhadap Undang undang harus merupakan ungkapan kehendak umum. Tidak ada perwakilan rakyat karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili.

Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskan.Pemerintah yang kemudian melaksanakan keputusan tersebut. Jika rakyat yang memerintah sendiri dan secara langsung maka tidak diperlukan lagi undang undang dasar atau konstitusi karena yang dikehendaki rakyat adalah hukum. Jeans Rousseau menjelaskan konstitusi atau undang undang dasar yang disetujui dalam pakta sosial harus dipatuhi oleh seluruh warga negara.

Oleh karena itu, apabila hukuman mati dijatuhkan pada seorang warga negara karena membunuh warga yang lain maka hukuman tersebut merupakan konsekuensi logis yang harus diterima.

Angin reformasi mewarnai perubahan kehidupan politik Indonesia pasca keruntuhan Soeharto. Berbagai pihak mulai menyuarakan jalan kemanusiaan dan mengembalikan manusia pada martabatnya. Mereka mulai menyerukan berbagai pembenahan yang harus dilakukan pemerintah termasuk penegakan hukum. Namun, pemerintah tidak sepenuhnya berpegang pada rakyat walaupun memakai kredo demokrasi. Mereka lebih berpihak pada pasar. Salah satu intrik politik nasional yang mengemuka adalah terbunuhnya pejuang HAM (Hak Asasi Manusia), Munir Said Thalib. Dia menjadi tumbal sistem plutokrasi yang berjalan dalam perpolitikan Indonesia.

Ironisnya hukum yang ditegakkan terbentur tembok kekuasaan. Hukum yang ada seolah mengikuti apa yang diinginkan penguasa. Demokrasi Rousseau bukanlah bersifat demagogi yang berkedok demokrasi tetapi merupakan representasi dari kehendak umum.

Setiap pemegang kekuasaan harus berkiblat pada kehendak umum bukan berpijak pada mayoritas apalagi penguasa pasar. Seyogyanya pemerintah mulai melihat tujuan bersama dalam kehendak umum yang disuarakan oleh rakyat.

Rousseau merasa pendidikan HAM bukan diberikan pada siswa dengan paksaan tetapi disesuaikan dengan perkembangan usianya. Dia memberikan contoh pada usia dini, anak-anak tidak perlu dijejali dengan dogma-dogma agama tetapi diberikan pembinaan kepekaan perasaan dengan pengamatan langsung.

Kesimpulan

Demokrasi Rousseau tidak terlepas dari teori sentralnya pada kebebasan dan kehendak umum. Demokrasi sebagai tata kelola rakyat selalu berbasis pada kebebasan dan kehendak umum.

Bagi John Locke pemerintahan yang baik seharusnya dipisahkan menjadi tiga yakni legislatif, eksekutif dan federatif pemerintahan yang baik bagi Rousseau tidak perlu dibagi karena dapat memecah keutuhan negara. Rousseau beranggapan bahwa demokrasi yang ideal tidak akan pernah ada karena sangat kecil kemungkinan manusia memperjuangkan kepentingan umum. Namun Rousseau juga berpendapat kepentingan umum pasti selalu ada walaupun dibayangi oleh kepentingan pribadi.

Selama kebebasan berpendapat bagi jeans Rousseau dijunjung tinggi dalam kehidupan politik dan musyararah dalam merancang kebijakan dilakukan, maka pemerintahan telah mengarah pada demokrasi idealnya Rousseau. Ketika kehendak umum selalu dikedepankan maka kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat secara tidak langsung akan tergapai. Sekian, semoga bermanfaat. (*)