Oleh Ahmad Yani Abdurrahman
_______
MARGARITO Kamis, pakar Hukum Tata Negara Universitas Khairun, kembali membuat pernyataan menarik untuk didiskusikan. Video itu sempat viral di sejumlah grup WA. Margarito menyatakan bahwa politik adalah bisnis dan sebaliknya bisnis adalah politik. Pernyataan itu menimbulkan sejumlah spekulasi dan penafsiran. Maklumlah 2024 adalah tahun politik tepatnya dalam momen pilkada serentak termasuk di Maluku Utara yang melaksanakan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota.
Apa sebenarnya yang dimaksud Margarito dengan pernyataannya, dan kepada siapa sebenarnya pernyataan itu ditujukan? Lebih menarik lagi ada yang menduga pernyataan itu sebenarnya ikhtiar atau isyarat Margarito bahwa pilkada di Maluku Utara akan diikuti oleh salah satu bakal calon dengan latar belakang pebisnis. Tanpa menyebut sosok dimaksud, publik pasti sudah paham siapa dia. Tulisan ini ingin berspekulasi tentang sosok pebisnis tapi mencoba memaknai politik adalah bisnis dan bisnis adalah politik.
Jika kedua kata itu gabungkan menjadi frasa politik bisnis dan bisnis politik maka terminologinya juga berbeda. Secara etimologi politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti kota dan politika berarti urusan kota. Dari asal kata tersebut politik dapat diartikan sebagai urusan masyarakat dalam suatu kelompok atau kota. Dalam maknanya yang lebih luas hubungan antara negara dan warganya. Soltau salah satu ilmuan politik menyatakan politik adalah aktivitas yang mengatur hubungan antara warga dan negara dan antar lembaga negara. Dengan demikian politik merupakan hal yang berkaitan pembentukan institusi negara, pendistribusian otoritas dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat atau negara yang awali dengan mekanisme pengambilan kepututusan.
Lalu apa itu bisnis? Masyarakat kita dewasa ini sangat familiar dengan istilah bisnis. Dalam pandangan mereka bisnis merupakan aktivitas jual beli barang atau jasa. KKBI menyebut bisnis adalah usaha komersial dalam bidang perdagangan atau dunia usaha, barang dan jasa. Groffin dan Ebert (2017) menyebut bisnis adalah organisasi yang menyediakan barang atau jasa untuk dijual dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Mengacu pada terminologi tersebut dapatlah disimpulkan politik lebih berkonotasi pada persoalan kewenangan, pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan sementara bisnis subtansinya pada persoalan perdagangan, barang dan jasa. Dengan berbisnis, orang atau institusi memperoleh nilai tambah berupa aset dan keuntungan finansial.
Ada fenomena menarik dalam pemilihan legislatif 2024 dimana para pebisnis ramai ramai terjun dalam dunia politik dan menjadi caleg DPR. Ambar Sudarto Murti (2020) mengemukakan 262 anggota DPR 2019 2025 berlatar belakang pengusaha, sementara Cornet (2020) dalam penelitian menemukan 55 persen dari periode DPR yang sama berlatar belakang pengusaha dari berbagai sektor. Bahkan di tahun 2024 salah satu konglomerat bersama istri dan 5 anaknya berjamaah menjadi caleg baik untuk DPR RI dan DPRD. Fenomena ini yang disebut Margarito bisnis adalah politik. Pelaku bisnis atau dunia usaha saat ini tidak sekadar membutuhkan kondusivitas lingkungan sosial dan politik untuk menjamin keberlangsungan usahanya. Melalui kekuatan konglomerasi pelaku usaha ingin terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk mempengaruhi kebijakan negara. Melalui institusi legislatif pebisnis bergerak leluasa ikut mempengaruhi pengambilan keputusan yang menguntungkan dan melindungi usahanya meskipun di satu sisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus siap dikorbankan. Lahirnya UU Omnibus Law menjadi bukti keberadaan lembaga legislatif tidak lagi berpihak pada rakyat. Lembaga legislatif dan eksekutif malah membangun konspirasi saling menguntungkan. Paradigma baru bisnis adalah politik adalah ikut terlibatnya pebisnis dalam pengambilan keputusan, mereka telah meninggalkan cara konvensional seperti sogok, gratifikasi rente kepada negara.
Tinggalkan Balasan