Tandaseru — 5 abad lalu, kampung itu merupakan pusat peradaban di Kepulauan Maluku, Indonesia. Kampung di pulau kecil bernama Ternate itu memiliki segalanya. Lokasi strategis, kekayaan alam melimpah, hingga material untuk pembangunan. Di situ juga tinggal Sultan Ternate.

Tak heran, bangsa Portugis di bawah komando gubernur Antonio de Brito memutuskan membangun benteng pertamanya di situ pada tahun 1522. Benteng yang oleh Portugis dinamakan Sao Joao atau Sao Paulo itu merupakan benteng kolonial pertama di Kepulauan Maluku.

Nama Sao Paulo di lidah orang Ternate disebut Sampalo. Di sisi lain, wilayah pusat Kesultanan Ternate itu disebut Gamlamo atau kampung besar. Wilayah Gamlamo kala itu diyakini membentang dari Jambula hingga Taduma.

Bangsa Portugis dan penduduk Ternate hidup berdampingan setelah Sultan Khairun mengampuni dan mengizinkan bangsa Iberia itu berdagang di Ternate. Benteng Sao Joao menjadi pusat pertahanan sekaligus ibukota Portugis di Ternate. Hingga pada 28 Februari 1570, Sultan Khairun dijebak dan dibunuh gubernur Portugis Diego Lopez de Mesquita.

Pembunuhan itu terjadi di benteng dan memicu kemarahan putra Khairun, Baabullah, dan rakyat Kesultanan Ternate. Setelah dikepung Sultan Baabullah dan pasukannya selama 5 tahun, Portugis akhirnya menyerah dan meninggalkan Ternate.

Saat ini, reruntuhan benteng Sao Joao (yang oleh bangsa Spanyol diberi nama Nostra Senora de Rosario) yang kini bernama Benteng Kastela termasuk dalam Kelurahan Kastela, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Benteng tersebut boleh saja runtuh dimakan zaman, namun sejarah besar Kesultanan Ternate di lokasi tersebut tak lekang oleh waktu.

Sejarah inilah yang coba dibangkitkan warga Kastela dengan menghelat Festival Gamlamo. Festival bakal berlangsung sejak 25 Februari 2024 dan berakhir 28 Februari, tepat pada tanggal Sultan Khairun dibunuh Portugis.