Dan forum itu di malam tadi, telah kita lihat. Bahkan secara utuh. Dan kita tentu punya perspektif yang berbeda, itu lumrah. Asal saja tidak buta dan main seruduk sana-sana. Karena di dunia yang satu ini, politik, kadang nalar dan akal sehat menjadi tidak penting. Saya sendiri sedari awal, percaya bahwa siapapun yang berniat untuk berkontestasi, apalagi di skala paling besar, paling tinggi dan paling menentukan, tak mungkin memilih “bermain-main”. Saya ingat cerita dosen karib saya, di sebuah Fakultas Perikanan, kepada mahasiswanya di mata kuliah Perilaku Ikan: anda bisa berpikir bagaimana bisa menjerat ikan dengan kail yang anda rangkai. Tetapi ikan juga “berpikir” bagaimana agar bisa terhindar dari jeratan kail itu.
Tak selang lama setelah debat selesai, seorang karib memperlihatkan hasil polling sebuah media ternama di sebuah WAG. Di sekitar tiga jam dan votersnya di angka 50-an ribu, sang cawapres milenial tadi unggul telak dari dua pesaingnya yang telah berusia senja.
Bagi saya, yang bikin menarik itu karena ada “kekagetan” publik, minimal terbaca dari 4 WAG yang beranggota ratusan dan juga kumpulan orang-orang yang relatif terpelajar. Sepertinya di luar nalar dan ekspektasi mereka. Karib sekaligus senior saya yang mantan anggota DPR RI, mengomentarinya begini: pelajaran menarik dari debat malam ini, jangan terlalu memandang enteng orang karena keadaan bisa berbalik. Dan saya pikir, ini bisa merepresentasi benak banyak orang. Itu poinnya.
Yang bikin lucu, ada persepsi yang agak minor soal kapasitas diri anak muda ini, soal kecakapan menggunakan istilah-istilah berbahasa asing yang fasih kedengarannya dan lincah dengan istilah IT. Mereka lupa bahwa sang cawapres ini dibesarkan di “dunianya” yang menuntut mereka harus adaptif dengan semua kondisi di profesi awalnya sebagai seorang pengusaha muda dengan segmen anak muda yang luas dan begitu lekat dengan teknologi IT. Model berbisnisnya juga sudah “ramah IT”.
Dan komunitas anak-anak muda itu nanti, yang jadi “target pasar” di kontestasinya ini. Di atas 50 persen jumlah mereka di segmen ini, punya hak pilih dalam kontestasi ini. Senior saya tadi, Syaiful Bahri Ruray, melanjutkan kesimpulannya: anak muda zaman now, mereka lebih menguasai komunikasi publik. Apalagi ditopang tim yang kuasai benar psikologi massa. Bisa-bisa kita [orang tua, maksudnya], kelimpungan menghadapi mereka.
Seorang karib lain, Mashuri Chalid, ASN di salah satu pemerintah daerah dan penulis muda yang cukup kapasitas, mengomentari kapasitas anak muda ini: waktu saya hadiri kegiatan diskusi publik Bapenas di Solo beberapa bulan lalu, beliau baru balik dari Prancis utk pagelaran busana batik Solo, lalu bertindak sebagai keynote speaker, memaparkan kurang lebih 18 proyek strategis di solo, cerdas juga.
Tinggalkan Balasan