Ia menambahkan, contoh kasusnya pada APBD Perubahan 2023, bisa dikatakan bahwa pemerintah daerah sudah membohongi DPRD, sebab APBD Perubahan yang disetujui sudah tepat waktu, dan tidak pernah mengalami keterlambatan.

“Di mana dalam amanat undang-undang batas waktunya 30 September, sementara persetujuan DPRD atas APBD-P disampaikan pada 28 September, artinya masih tersisa dua hari sebelum batas waktu berakhir, namun setelah kita mengkroscek ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ternyata, dokumen yang diajukan itu adalah dokumen yang dikerjakan secara manual, bukan berbasis sistem,” beber Ishak.

Akibatnya, seluruh program yang dibahas dalam APBD-P tidak terupdate ke dalam sistem, atas dasar inilah APBD-P tidak dapat dievaluasi oleh Mendagri.

“Akhirnya APBD-P tidak jelas dan tidak dapat dilanjutkan lagi,” bebernya.

Ishak mengklaim, molornya pembahasan RAPB disebabkan karena Bappeda menyerahkan dokumen manual ke DPRD.

“Bukan berbasis sistem, melainkan dokumen manual, sementara kerja-kerja seperti ini semuanya basis sistem (SIPD),” ucapnya.

Hingga saat ini, kata dia, dokumen RAPBD dan KUA-PPAS tak kunjung diserahkan ke DPRD.

“Terus kita harus jadikan ini sebagai pedoman dari mana? Jika dokumennya tidak ada,” ungkapnya.

Ishak menilai, Pemprov Maluku Utara sengaja menutupi kekurangannya dengan melimpahkan kesalahan ke DPRD.

“Seolah-oleh semua keterlambatan ini kesalahannya ada di DPRD,” tegasnya.

Menurutnya, pokir DPRD sudah tuntas pada saat pembahasan rencana kerja pembangunan daerah (RKPD).

“Pada saat penyusunan RKPD itu pokir sudah selesai, dan jika dikatakan bahwa pokir menjadi ganjalan itu dari mana?,” katanya menambahkan

“Kalau sampai pokir menjadi masalah, berarti masalahnya ada di Bappeda, sebab dokumen RKPD digodok oleh Bappeda, sehingga menurut saya jika kinerja Kepala Bappeda seperti ini maka diberhentikan saja,” tandasnya.