Oleh: Fahmi Djaguna

Penulis adalah Sekretaris Umum ICMI Orda Morotai

_________

DI balik gemuruh sidang paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Pulau Morotai tahun 2024, suara Fraksi Gerindra menggema, membelah atmosfer politik yang tegang. Mereka menolak langkah Pemerintah Daerah Pulau Morotai yang menonaktifkan 11 kepala desa dengan dalih penyelamatan keuangan desa. Bagi Gerindra, ini bukan penyelamatan, tapi pemberangusan. Bukan keadilan, melainkan kesewenang-wenangan. Mereka berdiri lantang; “Tidak ada indikasi korupsi. Terkesan justifikasi. Mereka dikorbankan dalam politik yang belum selesai.” Namun, benarkah demikian?

Pernyataan itu, meskipun disampaikan dalam semangat pembelaan terhadap tokoh-tokoh desa, mengandung kerancuan logika yang memerlukan pembacaan lebih jernih. Di satu sisi, mereka menolak tindakan pemerintah karena belum ada keputusan hukum tetap atau inkracht. Di sisi lain, mereka menuduh langkah eksekutif sebagai bagian dari dinamika politik Pilkada yang seharusnya sudah usai. Sebuah paradoks; mereka menuntut objektivitas hukum, namun juga menilai secara subjektif bahwa proses administratif ini berbau politis. Bukankah itu juga sebuah bentuk penghakiman tanpa bukti?

Langkah Pemda Pulau Morotai menonaktifkan 11 kepala desa bukanlah sebuah vonis. Ini adalah tindakan administratif preventif. Bukan penghukuman, tetapi bentuk kehati-hatian birokrasi agar dana desa yang nilainya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah tidak tersedot dalam pusaran penyimpangan. Mengapa kehati-hatian ini dipersoalkan? Bukankah tugas pemerintah bukan hanya membangun, tetapi juga menjaga integritas dalam pembangunan itu sendiri?

Perlu disadari bahwa penonaktifan bukan pemecatan. Penonaktifan bersifat sementara, bertujuan mengurai benang kusut yang ditemukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) dan Inspektorat Daerah Pulau Morotai. Ketika ada temuan awal yang cukup kuat untuk menimbulkan kecurigaan terhadap pengelolaan dana, respons cepat adalah keharusan. Jika menunggu proses hukum sampai pada tahap akhir baru bertindak, maka bisa jadi anggaran yang seharusnya sampai ke masyarakat sudah terlanjur hangus dalam api penyalahgunaan.

Fraksi Gerindra Morotai menyebut bahwa citra kepala desa selama ini baik, dan tidak layak dirusak hanya karena dugaan. Pernyataan ini, meski berangkat dari semangat pembelaan moral, harus dibingkai ulang. Citra baik bukan jaminan kebebasan dari penyimpangan. Banyak koruptor tampil sopan, merakyat, bahkan religius. Yang diperlukan bukan pembelaan berdasarkan kesan, tetapi keberpihakan kepada proses yang objektif dan akuntabel.

Ironisnya, dalam membela kepala desa, oleh Fraksi Gerindra justru menyudutkan Pemda dengan menuduhnya dikendalikan oleh sisa-sisa tim sukses Pilkada. Klaim ini menyalakan api politik yang seharusnya sudah padam. Tuduhan ini tidak berdiri di atas bukti, melainkan hanya pada persepsi. Dan persepsi yang tidak dilandasi data bisa menjadi fitnah yang membakar kepercayaan publik kepada institusi.

Maka hemat saya, Fraksi Gerindra telah keliru membaca langkah Pemda. Ini bukan tentang politik, ini tentang keberanian bersikap dalam menghadapi indikasi korupsi. Bila pemerintah diam saat ada temuan awal, mereka akan dituduh lalai. Bila mereka bertindak cepat, mereka dituduh sewenang-wenang. Dalam situasi seperti ini, keberpihakan harus diarahkan pada prinsip; bahwa satu rupiah uang rakyat lebih berharga daripada seribu retorika politik.
Pemda Pulau Morotai sedang menapaki jalan yang benar. Pemda Pulau Morotai tidak menghukum, tetapi menjaga. Pemda Pulau Morotai tidak mengadili, tetapi mensterilkan ruang agar proses hukum dan pemeriksaan bisa berjalan tanpa intervensi. Kita tidak boleh lengah. Korupsi di desa bukan hal sepele. Korupsi menyakiti akar pembangunan, mencederai kepercayaan rakyat yang sudah lelah dengan janji.

Fraksi Gerindra boleh bersuara. Itu hak politik mereka. Tapi mari kita sama-sama menjaga agar suara itu tidak menjadi gema yang membenarkan kekeliruan. Korupsi adalah musuh bersama, dan keberanian menindaknya harus lebih kuat daripada rasa sungkan terhadap kawan seiring.

Dengan demikian, bahwa di tengah pusaran kontroversi ini, suara kebenaran harus lebih nyaring dari suara kepentingan. Dan keberanian melawan korupsi adalah mutiara yang mesti dijaga, meski harus melawan arus. (*)