Pada esensinya, karakter “menghargai”, tak banyak dibentuk di lembaga pendidikan. Tumbuh dan berkembang dari awal dengan karakter yang kurang terlatih kepedulian sosial, sosialisasi, saling menyantuni hingga perasaan berkeluarga dan lain-lain, adalah faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap esensi menghargai tadi.
Tanpa kita berkoar-koar dengan “kata-kata mutiara” saling menghargai pun, orang akan mudah melihat dan tahu karakter asli kita, yang memang tak bisa disembunyikan, bahkan dengan jurus “pura-pura” kelas wahid sekalipun.
Ego individual itu cukup diberlakukan di lingkungan keluarga, jangan dibawa ke lingkungan sosial kita berada. Biar saja efeknya hanya dirasakan oleh kita dan anggota keluarga kita. Tetapi jika itu dibawa ke lingkungan sosial maka akibatnya bisa mengganggu harmoni sosial karena banyak orang akan merasa tidak dihargai.
Kita menyaksikan banyak terjadi kondisi kehidupan yang disharmoni karena perilaku kita yang kurang menghargai sesama warga, yang juga adalah makhluk yang bernama manusia, yang kepadanya dilekatkan predikat makhluk yang punya harkat, derajat, martabat dan harga diri itu.
Perilaku kurang saling menghargai ini tak hanya terjadi dalam lingkungan sosial yang umum, di tempat ibadah, yang semestinya menjadi tempat bagi kita untuk belajar bagaimana esensi menghargaipun, tak jarang kita mempraktikkan perilaku “curang” di sana: saling meremehkan, membentak hingga merusak ukhuwah sesama kita, tak lagi saling menghargai. Jika di tempat ibadah saja sudah begini keadaannya, di mana lagi kita bisa menemukan lingkungan sosial yang harmoni dan merepresentasikan warga yang saling menghargai tadi. Kita tak bisa menyembunyikan kesombongan kita di sesama jamaah, dan mungkin sembari berharap perilakunya tak diketahui oleh Dzat yang baru saja diibadahinya.
Lakukan saja anjuran kalau mau dihargai, hargai dulu orang lain. Juga, jauhi perilaku, kalau tak tahu masalah, jangan mudah menilai. Efek “merusak”nya yang lebih berbahaya. Seringkali, kita hingga disebut bodoh, itu bukan karena kata-kata, yang dianggap salah menilai tetapi efek merusak tadi yang tidak kita sadari.
Selamanya, “ilmu” tentang ibadah kepada sang pencipta tak banyak menemukan hakikatnya karena kita sering terpaku pada sumbernya di toko-toko buku. Tulisan inipun diniatkan untuk mau “menghargai”, menghargai hak setiap kita untuk bisa berubah menjadi lebih baik dalam perspektif “bersosial”.
Saya berempati pada sang imam yang “ditinggali” dengan raut tak puas oleh dua jamaah tadi. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan