Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

Tahu diri, berarti sadar diri. Hal yang bikin orang “sadar posisi” ini, kadang jadi “variabel langka”, yang membuat orang mengambil keputusan untuk melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.

SEORANG teman datang, saat kami sedang mengobrol lepas malam itu. Ini di beranda kediaman seorang karib, di pekan kemarin. Dia berpendidikan cukup, seorang scholar. Membuka percakapannya, dia sedikit mengeluhkan suasana yang baru diamatinya disebuah kedai kopi. Kedai kopi ini berpenghuni relatif heterogen, banyak kalangan. Tetapi lebih dominan “penghuni tetap”nya. Intinya menurut kawan ini, diskusi hingga perdebatannya terkesan tak karuan. Setiap orang cenderung ngotot mempertahankan pendapatnya dengan segala cara, bahkan menurutnya, tanpa dasar sekalipun.

Saya dan seorang karib menanggapinya. Kebetulan kami hanya bertiga. Saya bilang, dalam soal-soal, yang mungkin dianggap sepele begini, kita juga mesti belajar dan berlatih terus-menerus agar kita bisa menemukan sudut pandang serta memahami konteksnya secara lebih proposional dan adil. Ini bukan materi pelajaran di bangku sekolah. Tak semua orang yang datang di sebuah tempat begitu, dia ingin mendengar “ceramah” kita. Ada yang mungkin hanya ingin melepas rindu, bercanda, merasa terpuaskan dan kembali. Mungkin menganggap bukan levelnya. Bahkan ada yang diam-diam mengamati dan menganggap lucu saja prilaku kita. Ini sering tidak kita sadari. Saya bilang, minimal dalam 2 hal, kita harus menyadarinya. Pertama, sadar level. Latar usia, tingkatan pendidikan, rekam jejak dan pengalaman, ruang lingkup dan level pergaulan, serta konteks masalah yang didiskusikan. Kedua, kita memahami benar tingkatan berpikir menurut teori Benjamin Samuel Bloom [1913-1999], psikolog oendidikan asal Amerika Serikat, Taksonomi Bloom. Dari situ kita tahu di mana “level” kita. Sebab, sering sekali terjadi diskusi hingga perdebatan yang tidak produktif, karena orang cenderung tidak memahami posisinya. Sikap sadar posisi itu, yang sering diistilahkan dengan bijak.

Seseorang yang tak jelas latarnya, mencoba membantah akademisi bergelar Doktor. Padahal materi yang didiskusikan adalah mata kuliah sang akademisi itu, di kampusnya. Ini sikap blunder yang kadang tak disadari.

Kadang yang tidak kita memahami, ada orang yang sengaja “menurunkan” levelnya, hanya untuk mendapatkan kesenangan lain saat berbaur, berdiskusi, dan bercanda dengan kita. Dia situ dia mendapatkan kesenangannya. Kita saja, yang tak memahami kondisi begini, membuat kita merasa selevel dan hebat, bahkan hingga cenderung memandang dan menggurui.

Sebaiknya, ketika mau menanggapi sesuatu atau berpendapat, kita mengingat “level materi”nya dulu. Minimal menurut Bloom tadi. Kalau yang kita pahami hanya pengetahuan bahwa Ibukota Negara RI adalah Jakarta [level paling awal], tak usahlah ikut-ikutan, apalagi ngotot mengaitkan dan membandingkan kehidupan sosial-ekonomi Jakarta dengan Singapura, hingga membantah akademisi yang mengasuh mata kuliah ekonomi regional, misalnya. Itu tinggi levelnya dan terlalu berat.

Saya jadi mengingat sosok ini. Adalah Om Faruk, demikian sapaannya. Saya lupa nama lengkapnya. Beliau seorang pensiunan ASN di Tidore, dan telah almarhum. Berdomisili tak jauh dari Cafe Djoung, nama sebuah kedai kopi di Tidore, tempat mangkalnya banyak kalangan. Mulai dari aktivis mahasiswa, wartawan, ASN, dan pejabat daerah ini. Bisa di bilang ini miniatur Jalan Roda [Jarod] Manado. Letaknya di jalur strategis dan banyak menu familiar, membuat kedai ini ramai di kunjungi setiap waktu, termasuk almarhum Om Faruk ini. Saat masih sering mangkal di tempat ini, saya sering mengamati prilaku Om Faruk, ketika mengamati “silang pendapat” atas sebuah tema yang sedang di bicarakan teman-teman lain. Maklum, lumrah jika tempat begini jadi “panggung” banyak orang untuk menunjukan kapasitas diri.

Beberapa kali saya mengamati rautnya di tengah suasana “perdebatan” alot ini, Om Faruk terlihat adem saja. Tak ada satu katapun yang meluncur dari mulutnya. Memang almarhum tipikal tak banyak bicara, meski sebagai pensiunan ASN, beliau pasti punya pengetahuan dasar yang cukup tentang banyak hal. Beliau diam sembari mengamati prilaku anak-anak muda mendominasi perdebatan. Usai sedikit menyimak, beliau pamit kembali ke rumah dengan mobil kesayangannya, sebuah Toyota Rush G berwarna Grey. Dan jika berkesempatan, beliau datang lagi, dan nyaris seperti itu prilakunya yang terlihat.

Tahu diri, berarti tahu kadar diri. Tahu kadar diri, membuat orang menjadikan orang sadar diri, sadar tentang kapasitas dirinya untuk hal-hal tertentu. Bisa saja, berawal dari tahu kadar diri, dan sadar posisi dirinya, membuat orang untuk tak mau, bahkan memilih diam untuk tidak berkomentar pada hal-hal yang tak di ketahui, tak penting, di ragukan kebenarannya, atau bahkan di pandang tak penting.

Ini pelajaran kehidupan yang relatif tak di dapat di bangku sekolah, ataupun ketika di kuliah, tetapi sering dari kebiasaan hidup dan karakter yang terpelihara. Banyak orang bisa pandai, tapi tak banyak yang bisa memahami apa yang mungkin dipahami Om Faruk.

Saya mengingat kalimat-kalimat ini, yang saya dapatkan dari sebuah media, ketika meyudahi narasi ini, suasana obrolan di beranda kediaman karib tadi: Apa sih tanda-tanda orang cerdas?

Pernah gak, kamu merasa “gak nyambung” di tengah-tengah obrolan circle kamu, terus tiba-tiba mikir, “Apa ini tandanya aku beda?”

Tenang, mungkin aja itu salah satu tanda kalau kamu lebih dari sekadar pintar. Nah, ini beberapa tanda yang sering jadi ciri kecerdasan, cek ini:

  1. Kamu sering melamun, kayak lagi nonton bioskop di kepala kamu sendiri.
  2. Imajinasi kamu gak pernah berhenti. Dan percaya deh, dunia butuh lebih banyak orang kayak kamu, yang bisa lihat sesuatu dari sudut pandang berbeda.
  3. Kamu gak ragu cabut dari grup yang gak sefrekuensi. Bukan berarti anti-sosial, tapi kamu tahu nilai waktu dan energi kamu. Daripada buang waktu di lingkungan toxic, mending cari tempat di mana kamu bisa bertumbuh.
  4. Kamu punya self-worth yang tinggi.
  5. Kamu punya hubungan spesial sama aturan: gak selalu nurut. Kadang, kamu tuh mikir “Apa sih, pentingnya semua aturan ini?” Bukan berarti gak patuh, tapi kamu tahu kapan harus kreatif dan berpikir di luar kotak.
  6. Kamu cuma butuh kasih sayang yang tulus. Tanpa drama, tanpa basa-basi. Hubungan yang jujur dan mendalam bikin kamu merasa hidup lebih bermakna. Kamu ngerti kalau menghargai diri sendiri itu penting. Tapi tetap rendah hati, gak perlu selalu pamer untuk buktiin apa yang kamu bisa.
  7. Kamu suka menyendiri, tapi gak pernah kesepian.

Di balik keheningan, kamu justru menemukan kedamaian. Dan dari situ, kamu bisa melahirkan ide-ide brilian.

Banyak kasus, hingga hal-hal besar di daerah, bahkan di negara ini terjadi, dipicu hal-hal begini, mengambil, atau tidak mengambil sesuatu keputusan, dengan pijakan yang rapuh, tak sadar posisi. Tak sadar posisi diri, sama dengan mengambil keputusan diluar kewenangannya. Hasrat berkuasa, sering jadi pemicu kekisruhan. Atau tidak mengambil keputusan, sesuatu yang menjadi kewenangannya untuk segera diputuskan. Sengketa beberapa pulau antara Aceh dan Sumatera Utara saat ini, bisa jadi cerminnya.

Tahu diri, berarti sadar diri. Hal yang bikin orang “sadar posisi” ini, kadang jadi “variabel langka”, yang membuat orang mengambil keputusan untuk melakukan, atau tidak melakukan sesuatu. Wallahua’lam. (*)