Jika kata “menghargai” diterjemahkan sesuai selera tiap orang maka sangat mungkin terjadi beda “penafsiran”. Si A merasa telah menghargai si B, padahal si B berpandangan bahwa itu bukan cara menghargai, dan lain-lain.

Lantas, bagaimana cara memberi perspektif yang utuh dalam memahami makna kata menghargai itu?

Menghargai bermakna memberi bobot “harga” pada sesuatu objek, kualitas tertentu. Dan objek itu tak semata-mana menunjuk manusia tetapi bisa juga alam di sekeliling kita hingga binatang, misalnya.

Memberi bobot harga pada alam dan lingkungan kita, didasari alasan bahwa objek ini juga adalah makhluk ciptaan Tuhan. Menghargainya, sama saja menghargai sang penciptanya. Jika menghargai alam dan lingkungan, termasuk tumbuhan dan binatang adalah manifestasi dari rasa syukur atas ciptaan Tuhan dan memberikan kita sumber kehidupan, bagaimana konteksnya menghargai manusia?

Menghargai makhluk yang bernama manusia adalah memberi bobot harga padanya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia karena memiliki derajat, harkat, martabat dan harga diri. Dalam konteks kehidupan sosial, menghargai mestinya di lihat, paling tidak dalam 2 hal, konteksnya secara individual dan sosial. Saya diperlakukan baik sebagai pribadi manusia oleh seseorang karena mungkin saya berlaku baik padanya karena telah menempatkan posisi saya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Itu konteks individualnya. Dan kami sama-sama menyadari bahwa cara memperlakukannya manusiawi.

Dalam konteks kehidupan sosial, menempatkan norma sosial secara berimbang dalam kehidupan bermasyarakat, adalah konteks “menghargai”nya.

Jika keseharian hidup dalam masyarakat, kita terlihat begitu “individual”, kita dianggap tidak menghargai lingkungan kita. Siklus hidup kita yang begitu monoton bertahun-tahun dan terlihat begitu individualis tadi, sama saja kita tak menghargai, tak bertenggang rasa pada lingkungan, pada hak orang-orang di sekitar kita untuk bisa bercengkerama dan bertegur sapa hingga saling menolong, misalnya. Tragisnya, jika ini terjadi di lingkungan sosial yang relatif homogen. Masing-masing kita hidup dengan “kesendiriannya”. Tentu berbeda konteksnya di masyarakat kota yang heterogen, yang eskalasi ancaman “keselamatan diri” dan lingkungannya memang harus diantisipasi dengan pagar yang tinggi dan pintu rumah yang terkunci “1×24 jam”.