Oleh: Sahrony A Hirto
_______
SEJAUH tulisan ini mengalir dalam benak pembaca, penulis berkeyakinan bahwa pembaca yang budiman akan memberikan dua pemaknaan dikarenakan bias yang dilahirkan. Entah dengan semangat berkeadilan dan atau mencemooh karena berdalih komentator pendukung.
Mari memulai. Merencanakan kebohongan adalah pendefinisian yang penulis ungkapkan dengan berdasar pada kebijakan menghadirkan jembatan penyeberangan pelabuhan Sulamadaha-Hiri yang berada di Kecamatan Ternate Barat atau yang kita kenal dengan akronim Tebar Pesona.
Masyarakat Hiri melalui AMPUH telah mencoba menunjukkan segala macam akar mendasar terkait urgensi dihadirkannya pelabuhan penyeberangan dengan menjadi mitra kritis dan turut serta mengumpulkan kebutuhan data secara sukarela untuk memenuhi prasyarat normatif bernegara yang berjubah birokrasi. Secara khusus, pengaruh AMPUH terhadap gagasannya telah diselidiki (runut waktu) memiliki pengaruh dalam merencanakan sebuah keharusan untuk disegerakan. Adalah gagasan tentang keyakinan dan atau keharusan untuk disegerakan jika berdasar pada studi kebijakan dengan menggunakan skala prioritas oleh karena itu menjadi biasa ala kerja birokrasi.
Dalam politik sebagai profesi (birokrasi) dan panggilan (kepada daerah) misalnya telah dikaitkan dengan gagasan tentang niat baik atau kewajiban untuk hidup selaras dengan nasib modernitas jelas bernuansa mutlak. Niatan baik tersebut hadir dan berkembang atas dasar desakan (aksi massa) yang dilakukan berkali-kali bahkan bertahun-tahun sehingga birokrasi kota dalam dua kali kepemimpinan pun memilih kata setuju dengan melahirkan MoU (Memorandum of Understanding) pun sebanyak dua kali yang tidak bisa begitu saja dipahami karena terlalu banyak penyimpangan dari birokrasi mereka. Kepedulian terhadap konsekuensi tindakan dan penekanannya pada mempertimbangkan konteks sosial untuk memahami manusia sebagai makhluk budaya jelas bertentangan terhadap penundaan karena kedok terkendala rencana (skala prioritas beranggaran di gedung DPRD yang terhormat itu).
Pemahaman tentang sebuah keharusan tidak berarti melampaui nilai-nilai yang umum.
Di sini, saya ingin mengusulkan pendekatan yang berbeda dengan beralih ke tradisi kebajikan-etika. Birokrasi Ternate tidak pernah secara eksplisit merujuk pada tradisi ini, dan saya juga tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa pemerintah (tanpa sadar) menunjukkan tidak memiliki political will dalam merencanakan keharusan beranggaran dengan tidak menepati rencana serta kesepakatan (MoU) yang ditandatangani dua kepala daerah dengan periode yang berbeda. Namun, ada sejumlah elemen dalam perencanaan birokrasi Ternate yang menyerupai merencanakan kebohongan dengan menandatangani MoU tersebut.
Pemahaman etika-kebajikan mengharuskan tatanan kehidupan dengan nilai-nilai sentralnya sendiri menyerupai gagasan tentang aktivitas atau praktik yang memiliki kebaikan intrinsiknya sendiri; perhatian pada sebab dan bukan pada hal-hal eksternal serupa dengan perhatian etis-kebajikan terhadap kebaikan intrinsik; bahasa etis yang saya gunakan bermuara pada tanggung jawab, rasa proporsional, hasrat yang merupakan ciri khas kebajikan dan bukan aturan, hak, atau kegunaan; dan, seperti yang ditunjukkan birokrasi Ternate dengan tidak memasukkan anggaran pada APBD Perubahan 2023 memperlihatkan birokrasi kita berfokus pada individu dan perkembangannya.
Tinggalkan Balasan