Meskipun demikian, antara agama dan etnisitas sama-sama secara hierarki memiliki patron. Keduanya berada dalam satu lingkar komando untuk menaruh pilihan kepada kontestan tertentu. Afiliasi politik tiap-tiap patron sangat menentukan pilihan bagi pengikutnya. Mereka menguasai sebagian besar kekuatan konstituen tanpa memperhitungkan batasan ideal dalam demokrasi, bahwa setiap individu memiliki hak tersendiri untuk menentukan pilihan.
Patron dari masing-masing identitas ini semuanya selaras untuk berkontribusi dalam pembentukan identitas agama maupun etnis. Tujuan politik mereka sesungguhnya adalah untuk mendapatkan akses terhadap kekuasaan hanya dengan memanfaatkan identitas agama maupun etnis.
Logika Dagang
Tidak ada proses barter gagasan dengan dukungan elektoral. Semua dikapitalisasi dengan kalkulus oportunistik yang bersifat individual. Tawar menawar secara matematis harus benar-benar diperhitungkan agar saling menguntungkan. Logika dagang bermain dalam arena ini.
Memang, kebiasaan politik transaksional tidak mudah dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kecukupan modal. Para ilmuwan politik, sosial, hukum, maupun pakar keilmuwan lainnya tidak mudah memusnahkan kebiasaan ini lewat paparan ilmiahnya. Modal kapital ternyata jauh lebih kuat daripada modal intelektual. Kepongahan jauh lebih berkuasa daripada kekuatan rasionalitas. Mereka yang memiliki massa real justru semaunya meng-oligopoli harga suara para pengikut semaunya.
Identitas adalah modal dagang. Modal ini memang dapat berujung brutal, merusak sendi-sendi demokrasi, jika tidak ditata dengan baik dalam etalase politik. Logika dagang para patron dari identitas kelompok agama maupun etnisitas ini justru mengorbankan kelompoknya sendiri. Tawar menawar dalam bisnis identitas agama maupun etnis tidak menekankan tujuan bersama tiap-tiap individu dalam satu kelompok.
Kekuatan patron, menciptakan cara pikir baru dalam politik. Bahwa politisasi identitas adalah bentuk keawajaran dalam demokrasi. Ada relasi yang mengikat antara politik identitas dan kapitalisasi terhadap semua pengikut dalam satu kelompok identitas agama maupun etnis. Kritik Wendy Brown (1995), ilmuwan politik Amerika, ternyata benar. Dalam kondisi berdemokrasi hari-hari ini, politik identitas mempunyai hubungan atau silsilah dengan kapitalisme. Indonesia sedang di fase ini, ketika para pemuka agama maupun kepala suku berjarak dekat dengan kapitalisme, maka mereka memiliki hubungan bisnis jangka panjang bernama identitas.
Tinggalkan Balasan