Oleh: Igrissa Majid

Indonesia Anti-Corruption Network

_______

JUDUL tulisan ini terinspirasi dari Philip I. Ackerman-Lieberman, yang berhasil menerbitkan buku bertajuk “The Business of Identity: Jews, Muslims, and Economic Life in Medieval Egypt.” Liebermen sangat mendetail, mengulas dokumen hukum melalui referensi yang terdapat dalam dokumen Cairo Geniza untuk memahami pola kehidupan di pasar islam. Sisi lainnya, Ackerman-Liebermen mengurai kisah para pedagang Yahudi di Mesir menerapkan praktik perdagangan yang dipengaruhi langsung oleh hukum Yahudi untuk mewujudkan identitas mereka dalam konteks Islam abad pertengahan.

Tapi saya tidak hendak pergi ke situ, dalam suasana Mesir di kala itu, tentunya. Justru sekilas, saya hendak memotret Indonesia hari-hari ini, tentang pasar bebas politik yang di dalamnya terjadi bisnis identitas untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik. Baik agama maupun etnis. Tentang kedua identitas itu, tegangan sentimentalnya belakangan meluluhlantakkan kondisi kehidupan demokrasi kita. Perpecahan karena faktor kubu-kubuan yang dilokomotifi langsung oleh panutannya masing-masing. Ya, mungkin berbeda jika kita mengikuti peta Mesir di abad pertengahan.

Kondisi Pasar Politik

Bahwasannya pasar politik merupakan proses monetisasi suara konstituen dengan sistem supply and demand (Mary Kaldor & Alex de Waal, 2020). Diatur secara sistematis agar dapat terhindar dari pengawasan penyelenggara. Bahkan terjadi barter kepentingan secara sistemik dalam pasar itu, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.

Dalam suasana ini, produsen utama politik identitas tidak lain hulunya bersumber dari tokoh-tokoh tertentu. Mereka menciptakan wadah untuk menampung orang sebanyak mungkin dengan kesamaan agama maupun etnis. Tokoh-tokoh tersebut menjadi penjual atau subyek utama bagi pengikutnya, layaknya para konstituen adalah barang konsumsi untuk memuaskan pelanggan.

Dalam fargmentasi agama, identitas ini kerap mengalahkan norma hukum. Agama menjadi piranti solidaritas sosial. Aktor-aktor yang mengatasnamakan agama telah mendoktrinasikan bahwa, kesalehan seorang pemimpin adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan publik yang melalui proses demokrasi prosedural. Lain halnya dengan sisi etnis, bahwa unsur-unsur kesamaan dalam identitas etnis akan saling menopang untuk keberlanjutan sumber daya ke depan, karena ada basis kekerabatan.

Memang kasus sentimental agama dan etnis di Indonesia tidak lain karena keteledoran pemimpin yang terpilih. Tidak berupaya menyatukan setiap patron dari tiap-tiap kelompok baik agama maupun etnis dalam satu kerukunan yang murni. Justru sentimen golongan yang disebut pribumi dan pendatang terbiarkan dan berdampak pada penyimpangan pasar politik. Banyak kasus misalnya, coretan Kantor Bupati di Halmahera Barat bertuliskan “Kantor ini Tabaru Punya”; spanduk bertuliskan “Pribumi Muslim” saat pelantikan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta, kasus Ahok di Jakarta, dan masih banyak kasus serupa lainnya.