Oleh: Hudan Irsyadi

Pengajar di Antropologi FIB Unkhair & Direktur SiDeGo

_______

MEMBACA kembali dokumen-dokumen sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam menghadapi bangsa kolonial yang diwakilkan pada perjuangan dari daerah-daerah membuat kita takjub. Kita tahu bersama bahwa perjuangan itu merupakan bentuk dari representasi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu kerajaan Islam yang punya andil besar terhadap negara republik Indonesia adalah kerajaan Islam Moloku Kie Raha yang berada di Maluku Utara. Atas dasar itulah sehingga kenapa Sultan Tidore, Husain Sjah, dan beberapa sultan di tanah jazirah Al Mulk menyuarakan tentang status istimewa.

Secara historis kita tentu tahu tentang perlawanan para sultan untuk mengusir bangsa kolonial di negeri rempah. Kegigihan dan pantang menyerah menjadi nilai penting untuk dikedepankan.

Seperti halnya pada perjuangan Sultan Nuku yang (sempat) tercatat sebagai seorang pemberontak adalah buah dari jiwa patriotisme Nuku dalam melihat ketidakadilan yang diperagakan oleh bangsa kolonial, Belanda. Kelicikan mereka yang tercium oleh Nuku, memaksanya melakukan perlawanan.

Pada titik ini Nuku pun berhasil menjalin kerja sama dengan raja-raja di Papua. Ia berhasil menghimpun bala bantuan dari Papua dan raja-raja di Tidore, Maba, Weda, dan Patani untuk menundukkan Belanda.

Catatan apik perjuangan Nuku inilah yang kemudian diintroduksi oleh sultan Tidore ke-26, Zainal Abidin Syah, yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur Papua Barat, untuk menjadikan Papua Barat sebagai bagian integral dari negara kesatuan republik Indonesia. Hal inilah yang sering didengungkan oleh Sultan Tidore saat ini, Husain Syah (jabatan lain anggota DPD RI) dalam memperjuangkan status “kekhususan” di parlemen. Di sini, saya membaca dengan penuh rasa, bagaimana perasaan sang sultan atas jerih payah yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya, namun tidak berdampak signifikan di daerah. Jangankan kita berjuang untuk Provinsi Istimewa, status daerah khusus saja tidak sama sekali.