Tandaseru — Beberapa pasangan calon kepala daerah, khususnya di Maluku Utara pasca pleno rekapitulasi penghitungan suara merasa cemas soal sistem selisih 2% dan seterusnya yang merupakan prasyarat formil pengajuan gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana selisih suara pemohon dengan pemenang Pilkada maksimum 2% atau terkait klausal konsep ambang batas.

Dr. Abdul Aziz Hakim, SH., MH, akademisi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Wilayah Maluku Utara menyatakan, sistem 2% dan seterusnya itu tidak diberlakukan lagi sebagai prasyarat dalam sistem hukum PHPU sekarang ini. Sebab dalam aturan sekarang MK tidak mengenal prasyarat 2% dalam permohonan atau gugatan ke MK sebagai syarat formil.

“Jadi kalau aturan lama sistem 2% diberlakukan di masa awal tahapan pemeriksaan pendahuluan yang jika tidak memenuhi maka pihak Mahkamah Konstitusi akan menyatakan sebuah gugatan tidak akan diterima, disebabkan karena tidak memenuhi unsur 2 % sebagai ambang batas perolehan suara, sehingga tidak masuk dalam proses pemeriksaan persidangan pokok perkara lanjutan sebagaimana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Sekarang ini, walaupun para penggugat tidak memenuhi 2% namun perkaranya tetap dilanjutkan untuk disidangkan karena masih terpenuhi syarat formil sebagai legal standing. Jadi prinsipnya majelis tetap memproses gugatan tersebut, nanti di akhir persidangan majelis menilai bukti-bukti yang signifikan atau tidak siginikan soal ambang batas 2% dengan pokok perkara yang didalilkan tersebut,” papar Aziz, Selasa (22/12).

Menurut Aziz, dalam Peraturan MK sebelumnya, sengketa pilkada diselesaikan di awal. Akan tetapi dalam PMK yang baru ini, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 (UU Pilkada) pada akhir perkara.

“Artinya, Pasal 158 tetap dijalankan, tetapi majelis wajib menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 (UU Pilkada) itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya. Maka untuk membuktikan hal tersebut Mahkamah Konstitusi harus mendengarkan keterangan para pihak, baik pemohon, termohon maaupun pihak terkait terlebih dahulu. Sebab jika Mahkamah langsung menerapkan Pasal 158 (UU Pilkada) sebagaimana ditentukan oleh KPU sebgai pihak termohon, maka ini menimbulkan subjektivitas salah satu pihak, jadi sistem peradilan kita sangat parsial dan terkesan tidak adil,” terangnya.

Ia bilang, dalam konteks ini kedudukan atau posisi pihak Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama sehingga asas equalty before of law sebagai prinsip negara hukum itu benar-benar jalan dalam sistem persidangan.

“Konsep PMK terbaru ini makna teleologisnya adalah untuk mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran procedural yang kadang jauh dari roh keadilan ,” tegas Doktor HTN jebolan Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini.

Dalam pandangan Pakar Hukum Tata Negara yang juga penulis buku “Negara Hukum dan Demokrasi” ini, bahwa jangan dikira tugas Mahkamah Konstitusi ini sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang hanya menghitung nilai-nilai demokrasi secara matematis atau hak rakyat dengan sistem persen-persenan.