Tandaseru — Di tengah derasnya arus modernisasi dan pola hidup instan, Musawwir Ade, seorang Penyuluh Agama Islam, justru menapaki jalan berbeda. Ia menyatukan nilai-nilai keagamaan dengan ilmu kesehatan klasik dalam misinya membina umat.

Bukan hanya berdiri di mimbar menyampaikan tausiyah, Musawwir terjun langsung ke lapangan—dari lembaga pemasyarakatan hingga majelis taklim—membawa gagasan sederhana tapi dalam maknanya: menyeimbangkan panas dan dingin dalam makanan dan tubuh. Konsep ini diambil dari khazanah Thibbun Nabawi dan kedokteran Arab klasik, warisan para ulama seperti Ibnul Qayyim, yang terbukti relevan untuk mengatasi masalah kesehatan modern seperti hipertensi, maag, stres, hingga diabetes.

Ia bukan sekadar bicara teori. Di Lapas Perempuan, Musawwir mendampingi warga binaan dengan penyuluhan praktis dan terapi alami seperti jahe madu untuk flu, buah semangka untuk tensi, serta ruqyah mandiri untuk gangguan emosional.

Di komunitas Kerukunan Keluarga Jawa, ia mendokumentasikan praktik lokal seperti konsumsi beras kencur atau bubur sumsum—kebiasaan yang ternyata selaras dengan prinsip panas-dingin meski tanpa narasi ilmiah.

Di majelis taklim, ia menjadikan hadits seputar kurma, madu, dan habbatussauda sebagai pintu masuk untuk mengedukasi umat tentang pola makan Nabi ﷺ yang seimbang dan tidak berlebihan. Bahkan, lewat Rumah Detox yang ia bina, Musawwir menyediakan layanan konsultasi, bekam, dan terapi ruhani sebagai pelengkap ikhtiar fisik.

Hasilnya bukan sekadar testimoni spiritual, tapi perubahan nyata. Seorang penderita maag kronis merasakan kesembuhan setelah tiga hari memperbaiki pola makan dan menata batin.

Pasien dengan batu empedu yang semula dijadwalkan operasi, berhasil mengecilkan ukurannya hanya dengan terapi herbal, tazkiyah al-nafs, dan manajemen makanan. Keluhan haid tidak teratur, ambeyen, GERD, bahkan luka diabetes, perlahan membaik seiring tubuh yang kembali seimbang dan jiwa yang lebih tenang.

“Saya menderita sakit diabetes dan terdapat luka di betis sebelah kiri saya, luka bernanah dan berlubang. Alhamdulillah setelah melakukan terapi konsep panas dingin dari ustaz Musawwir, alhamdulillah tanpa mengonsumsi obat dari dokter, luka saya berangsur pulih, sembuh, dagingnya pun naik bengkaknya pun turun. Terima kasih, ustaz Musawwir,” ujar Fitria Alkatiri, salah seorang pasien dan anggota binaan.

Di tempat yang berbeda, pasien binaan lain mengatakan, “awalnya saya merasa nyeri di ulu hati dan mual muntah. Gejala ini saya rasa pada tahun 2018. Saya beranggapan hanya sakit maag, hingga pada tahun 2024 kembali saya merasakan sakit yang sama. Anggapan mungkin saya kambuh tapi nyeri dan sakitnya bertambah kemudian saya dirujuk ke rumah sakit dan dokter memvonis saya ada batu empedu. Pada saat itu dokter menganjurkan untuk secepatnya tindakan operasi karena batu empedunya ada di dua tempat di kantong empedu ukuran 3,2 dan di saluran 1,5. Akan tetapi kami menolak dengan tindakan operasi dan pada akhirnya atas izin Allah di pengobatan panas dingin dari ustaz Musawwir, alhamdulillah tanpa operasi dan ukuran batu empedu yang awalnya 3,2 sudah hancur dan ukurannya menjadi 0,5. Kemudian pada saluran awalnya 1,5 kini sudah tidak ada lagi. Terima kasih, ustaz Musawwir,” tutur M Shaleh Talib, salah seorang pasien di Pulau Moti.

Semua ini menguatkan satu hal: bahwa konsep panas-dingin bukanlah warisan kuno yang usang, tetapi pendekatan medis dan spiritual yang berdaya guna untuk zaman kini.

Bagi Musawwir, ini bukan sekadar upaya menyembuhkan tubuh, tapi juga menyentuh jiwa. Ia percaya bahwa edukasi masyarakat tentang sifat makanan, kesadaran ruhani, dan kembali kepada pola hidup Islami adalah bentuk dakwah paling menyentuh.

“Sehat bukan hanya bebas penyakit, tapi juga tenang batin dan seimbang dalam hidup,” ucapnya.

Kini, ia berharap lebih banyak penyuluh agama dan tenaga kesehatan melihat potensi besar dari penggabungan ilmu langit dan bumi ini—sebuah ikhtiar yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menumbuhkan harapan.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Ika Fuji Rahayu
Reporter