Oleh: Thomas Ch. Syufi

Advokat dan Pegiat Hukum Tata Negara (HTN), tinggal di Kota Jayapura, Papua.

_______

MAHKAMAH Konstitusi Republik Indonesia secara resmi mendiskualifikasi Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua Nomor Urut 01,  Yeremias Bisai, 24 Februari 2025. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan Pemohon atas nama Mathius Derek Fakiri dan Aryoko Rumaropen alias Mari-yo untuk sebagian dan menyatakan mendiskualifikasi calon Wakil Gubernur dari pasangan Calon Nomor Urut 1 (Yeremias Bisai) dari kepesertaan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua tahun 2024. MK-pun meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh daerah daerah pemilihan Provinsi Papua dalam rentang waktu 180 hari sejak eksekusi dibacakan.

Ditelisik ke belakang perihal putusan MK mendiskualifikasi Calon Wakil Gubernur Papua Yeremias Bisai ini  lantaran tidak memenuhi syarat pencalonan. Sebagaimana dalam pertimbangan MK bahwa syarat pencalonan berkaitan surat keterangan tidak pernah dipidana dan surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya harus diterbitkan oleh pengadilan negeri di wilayah hukum tinggal calon. Dan kedua surat keterangan (suket) tersebut dikeluarkan pengadilan negeri harus merujuk pada tempat tinggal calon sesuai dokumen kependudukan, atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Namun, MK menemukan kedua dokumen tersebut diterbitkan PN Jayapura untuk Yeremias Bisai, padahal ia berada di luar yuridiksi PN Jayapura. MK berpandangan bahwa terjadi anomali atau kejanggalan dari kedua dokumen tersebut, yang mana ada ketidaksesuaian tempat tinggal Bupati Waropen dua periode itu dengan pengadilan yang berwenang mengeluarkan dokumen persyarakatan. Karena menurut fakta yuridis, Yermias tidak pernah berdomisi di wilayah hukum PN Jayapura, sebagaimana tertera dalam surat keterangannya bahwa ia berdomisili di Jalan Baliem Nomor 8, RT 003, Kelurahan Mandala, Kecamatan Jayapura Utara, Kota Jayapura. Bahkan Yeremias sendiri menyanggah dalam persidangan bahwa ia menggunakan hak pilih dengan KTP Waropen, bukan seperti yang tertera dalam kedua suket tersebut.

Karena Yeremias ber-KTP Waropen, seharusnya Calon Wakil Gubernur ini tidak menggunakan alamat di Jayapura sebagai tempat tinggal atau domisili untuk mengurus suket terkait tidak pernah sebagai terpidana dan tidak sedang dicabut hak pilihnya. Atas alasan bahwa YB yang bersikap tidak jujur mengenai kebenaran informasi data pribadi dan proses mendapatkan dokumen kependudukan yang digunakan untuk memenuhi persyaratan Calon Wakil Gubernur Papua Tahun 2024—itu tidak dapat dibenarkan secara hukum dan pencalonannya tidak memenuhi syarat. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 94 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang  Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yaitu: “Setiap orang yang memerintahkan, memfasilitasi, atau melakukan manipulasi data kependudukan dapat dipidana”.

Berdasarkan dengan fakta-fakta hukum tersebut, maka MK mengabulkan pokok permohonan Pemohon, yaitu menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Nomor 250 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Tahun 2025 tertanggal 14 Desember 2024 (yang menempatkan Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Nomor Urut 1, Bernhur Tommy Mano (BTM) dan Yermias Bisai (YB) sebagai peraih suara terbanyak. MK juga mendiskualifikasi Calon Wakil Gubernur dari Pasangan Nomor Urut 1, Yeremias Bisay dari kepesertaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tahun 2024.

Permasalahan teknis administrasi pencalonan wakil gubernur Papua yang memiliki konsekuensi hukum, dengan dibatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Nomor 250 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Tahun 2025, yang memutuskan Pasangan Nomor Urut 1, BTM-YB sebagai peraih suara terbanyak sekaligus pemenang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. Di mana total perolehan suara BTM-YB sebanyak 269.970 suara, mengalahkan rivalnya pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nomor Urut 2, Mathius Derek Fakiri (MDF) dan Aryoko Rumaropen alias Mari-yo yang hanya meraup sebanyak 262.777 suara atau selisih sekitar 7 ribu suara, dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilukada 2024 tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebanyak 750.959 pemilih. Namun, putusan MK membatalkan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur Papua dan  mendiskualifikasi Calon Wakil Gubernur dari Pasangan Nomor Urut 1, Yermias Bisai, serta memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh daerah pemilihan provinsi Papua dinilai kurang rasional dan efisien, baik dari sisi pertimbangan hukum dan keadilan, dan efisiensi waktu serta alokasi anggaran.

Memang dapat dibenarkan sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di pengadilan bahwa ada kesalahan atau kecacatan administrasi yang dilakukan oleh YB sebagai syarat Calon Wakil Gubernur Papua 2024 perihal ketidaksesuaian suket tidak pernah sebagai terpidana dan tidak sedang dicabut hak pilihnya. Masalahnya, yang berwenang mengeluarkan kedua suket itu harus dari yuridiksi Pengadilan Negeri di tempat tinggal atau domisili YB dalam hal ini PN Negeri Serui. Tentu dari perspektif kepastian hukum, etika, dan moral tidak dapat dibenarkan atas tindakan tersebut. Karena, ini merupakan syarat formil pencalonan seseorang yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan maupun peraturan teknis atau pelaksana (PKPU) terkait Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang suka atau tidak, harus dijunjung oleh semua pihak, terutama penyelenggara maupun para kontestan pemilukada.

Sebab, ini menjadi parameter awal seseorang calon diuji dari sisi integritas dan kredibelitasnya untuk kelak menjadi pemimpin Papua. Apakah ia bisa menjadi pemimpin yang beramanah dan bertanggungjawab kepada rakyatnya, maka elemen paling mendasar adalah ia harus jujur pada dirinya, barulah ia jujur kepada orang lain, juga kepada rakyatnya. Karena, proses awal yang baik adalah yang menentukan akhir yang baik. Atau tidak mungkin seorang pemimpin akan memimpin secara adil, sementara pemimpin itu sendiri datang dari proses yang tidak adil. Bonum ex integra causa malum ex qua cum que, untuk menjadi baik, sesuatu harus baik secara penuh, sedikit noda saja akan menyebabkan hal tersebut menjadi tidak baik.

Maka, apapun pelanggaran hukum, baik sengaja maupun kelalaian yang dilakukan oleh seorang calon gubernur atau wakil gubernur tentu diberi ganjaran atau sanksi hukum yang tegas dan ia wajib mempertanggungjawabkannya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Yang perlu dihindari adalah penerapan hukum yang keliru dan pengabaian terhadap prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum), karena itu hanya akan melahirkan abuse of power/detorunament de pouvoir  (penyalahgunaan wewenang) dan abuse de droit (perbuatan yang sewenang-wenang),  atau human right abuse (pelanggaran hak asasi manusia/HAM). Dan putusan MK membatalkan Keputusan KPU terkait Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua dan mendiskualifikasi Calon Wakil Gubernur Nomor Urut 1, Yeremias Bisai dinilai sebagai penerapan hukum yang keliru dan tidak adil hingga mengkerdilkan suara rakyat Papua yang menyalurkan hak pilihnya pada Pilgub Papua 2024. Kekeliruan itu berekses luas terhadap kemajuan demokrasi dan menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Papua maupun pasangan calon yang telah ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilgub Papua, yaitu BTM dan YB. Dan ini merupakan ancaman serius terhadap eksistensi demokrasi dan keadilan di provinsi paling timur Tanah Papua ini.

Karena hakim salah menginteprestasikan norma hukum dan menerapkannya secara keliru, sebagaimana bunyi adagium ignoratia judicis est calanaitax innocentis (ketidaktahuan hakim pada hukum adalah sebuah malapetaka bagi para pencari keadilan). Padahal, penafsiran terhadap suatu teks peraturan perundang-undangan yang jelas isinya, sangatlah dilarang, seperti ditegaskan dalam asas, interpretatio cessat in claris (jika teks atau redaksi undang-undang telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenaankan lagi menafsirkannya), karena  penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali menghancurkan (interpretation est perversion).

Di mana, MK menjadikan alasan ketidaksesuaian kedua suket dengan alamat domisi calon gubernur Papua nomor urut 1 Yermias Bisai tidak dapat dibenarkan secara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 94 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang  Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yaitu: “Setiap orang yang memerintahkan, memfasilitasi, atau melakukan manipulasi data kependudukan dapat dipidana”. Bila didalami secara jernih, substansi dari pasal tersebut adalah murni bicara tentang tindak pidana, yang dilakukan oleh setiap orang manipulasi data kependudukan. Dari rumusan pasal tersebut maka tibalah pada sebuah premis bahwa setiap orang, berarti termasuk Yermias Bisai yang melakukan manipulasi data kependudukan akan dipidana.

Jelas, ini adalah sebuah perbuatan pidana yang sangat kontras dengan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), karena dalam prinsip hukum pidana menganut pertanggungjawaban individu atau yang lazim disebut individual criminal responsibility. Artinya, seseorang bertanggungjawab secara pribadi atas tindakan kriminal yang dilakukannya. Ini senapas dengan keterangan saksi ahli pihak terkait, BTM-YB, yang juga Hakim MK Periode 2003-2009, Maruarar Siahaan bahwa  seandainya dipandang terbukti oleh MK adanya cacat yuridis persyaratan admnistratif calon wakil gubernur (cawagub), hanya menimbulkan tanggung jawab secara pribadi, yang tidak dapat mengakibatkan kebatalan keabsahan pemungutan suara yang menghilangkan keterpilihan calon gubernur yang ikut bersama (Redaksi Potret, 10 Februari 2025).  Berkenaan dengan penjelasan tersebut, maka sejatinya ini bukan objek sengketa, yang menjadi kompotensi absolut dari Mahkamah Konstitusi.

Masalahnya, MK bukanlah peradilan pidana yang berwenang mengadili perkara pidana, tetapi MK merupakan peradilan konstitusi yang bertugas mengadili perkara-perkara terntentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, termasuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Karena secara konseptual, objek perselisihan yang menjadi wewenang MK dalam mengadili sengketa pemilukada berkaitan dengan keberatan mengenai hasil penghitungan suara pemilukada yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2024 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 4 serta Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008, menyebutkan, pelanggaran dalam proses pemilukada, baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana bukan wewenang MK, melainkan wewenang panwaslukada, penyelenggara pemilukada, dan aparat penegak hukum lainnya (Heru Widodo: 2018).

Karena itu, seyogyanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara, MK menolak permohonan Pemohon karena tidak memenuhi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Karena tidak ada kerugian hak, seperti pencurian atau penggelembungan suara yang menjadi objek sengketa pemilu, hingga berlaku asas point de interet point de action (apabila memiliki kerugian hak maka memiliki dasar mengajukan permohonan), atau ubi jus ibi remedium (di mana ada hak, di situ ada penuntutan, jika terdapat pelanggaran terhadap hak). Meski ada putusan MK yang memperluas kewenangannya bahwa MK tidak hanya berwenang mengadili sengketa hasil pemilu, tetapi juga mengadili sengketa proses, termasuk pelanggaran administrasi dan pidana pemilu, MK harus memperhatikan aspek keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia, dengan mengeliminasi asumsi bahwa karena keikutsertaan Yermias Bisai sebagai cawagub hingga berdampak pada tingginya perolehan suara dari pasangan Calon Nomor Urut 1, BTM-YB yang menjadi objek permohonan Pemohon.

Bila MK berpandangan bahwa akibat keikutsertaan YB sebagai calon wakil gubernur Papua hingga membuat pasangan nomor urut 1 itu meraih suara terbanyak dan dinyatakan sebagai pemenang perhelatan pemilukada provinsi Papua oleh KPU. Itu adalah sebuah opini dan logika hukum yang abstrak, obscure, asimestri, dan irasional yang membuat kesemrawutan hukum. Apalagi masalah dugaan pemalsuan dokumen oleh YB sudah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua oleh Pelapor atas nama Wakob Punggo, 22 September 2024. Dan Bawaslu sesuai fungsi dan tugas pencegahan, pengawasan, dan penindakan telah memutuskan untuk menghentikan laporan tersebut karena tidak ada bukti pemalsuan dokumen oleh Yermias Bisai.

Bahkan laporan tersebut cacat formil karena menurut data identitas (Kartu Tanda Penduduk/KTP), Pelapor berdomisili di Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (4) Perbawaslu No. 8 Tahun 2020 tentang syarat formil dan materil laporan, termasuk identitas pelapor; nama dan alamat/domisili pelapor. Tentu, Bawaslu juga berdalih bahwa Pelapor dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk melaporkan kasus tersebut, karena dia bukanlah orang (warga provinsi Papua) yang terdampak langsung atau dirugikan hak konstitusionalnya dalam semua proses pemilukada di provinsi Papua. Tentu, keputusan Bawaslu terkait dengan laporan tersebut tidak secara parsial dan subjektif, tetapi telah dilakukan secara kolektif  dengan lembaga penegak hukum terkait. Adalah Bawaslu melakukan penyidikan dengan melibatkan pihak kejaksaan dan kepolisian yang masuk dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), yang berfungsi untuk membantu pengawas pemilu dalam membuat kajian tindak pidana pemilu.

Dari penelurusan atau penyidikan yang dilakukan oleh Gakkumdu dapat menyimpulkan tidak ada perbuatan pemalsuan dokumen oleh Yermis Bisai. Dan status laporan tersebut dihentikan dan YB bisa melanjutkan pencalonan diri sebagai Wakil Gubernur Papua. “Setelah dilakukan ke tingkat penyidikan dengan melibatkan pihak kejaksaan dan kepolisian, yang masuk dalam Gakkumdu, tidak ditemukan perbuatan pemalsuan dokumen. Jadi status laporannya kami hentikan dan Yermias Bisai bisa melanjutkan pencalonan diri sebagai Wakil Gubernur Papua,” kata Ketua Bawaslu Papua Hardin Halidin (Fajar Papua.com, 11 Oktober 2024). Jelas, Bawaslu Provinsi Papua memiliki alasan yang logis atas validitas informasi dan data yang diperolehnya terkait kedua suket itu resmi dikeluarkan oleh lembaga atau institusi yang berwenang, tentu kebenarannya tidak perlu dipersolakan, karena suket pasti diterbitkan atas dasar identitas diri calon, hingga Bawaslu tidak mungkin melangkahi yuridiksi pengadilan untuk mempersolakan suket tersebut.

Sejatinya, kedua suket itu dianggap sah, karena dikeluarkan oleh institusi yang berwenang, yakni Pengadilan Negeri Jayapura, maka Bawaslu tidak mengajukan keberatan atau rekomendasi kepada KPU. Karena secara administrasi, setiap kebijakan, termasuk surat yang dikeluarkan oleh sebuah institusi yang berwenang tetap dianggap sah dan dapat berlaku sampai dibuktikan sebaliknya (presumtio justea causa). Artinya, bila ada pihak yang ingin mempersolakan keabsahan kedua dokumen Yermias Bisai, itu bisa diajukan melalui peradilan pidana, yaitu Gakkumdu, yang terdiri dari kepolisian dan kejaksaan atas rekomendasi Bawaslu. Bukan mempersoalkan hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi adalah tidak relevan serta kewenangannya limitatif, yaitu hanya mengadili sengketa hasil pemilihan umum. Jadi, putusan MK membatalkan hasil penghitungan suara dan mendiskualifikasi Yermias Bisai dari Calon Wakil Gubernur Papua adalah janggal dan melanggar prinsip keadilan dan mengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat Papua telah memberikan lebih dari 50 persen hak suaranya kepada BTM-YB.

Karena MK memutuskan sesuatu yang melampai kewenangannya atau ultra petita (putusan di luar tuntutan) dan ini berpotensi melanggar apa yang disebut yuridikitas rechtmatingheid atau asas yuridiktas yang berarti Mahkamah atau Pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannya, karena ini akan menyenggol dimensi keadilan dan kepatutan. Dan  menabrak salah satu prinsip dalam hukum acara, yaitu, “Ne eat iudex ultra petita partium aut breviter ne ultra petita” (hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan). Meski MK tidak melakukan dismissal terhadap Permohonan Pemohon di pemeriksaan awal dan masuk pada pokok perkara, MK harus secara jeli, arif, dan bijak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo, terutama mempertimbangkan aspek keadilan, yang mana Pemilukada sudah dilangsungkan secara antusias oleh rakyat Papua, dengan mengorbankan waktu dan energi untuk berpartisipasi dalam memilih para pemimpin mereka dari kedua pasangan calon Bernhur Tommy Mano-Yerminas Bisai dan Mathius Fakiri-Aryoko Rumaropen pada Pilgub Papua, 27 November 2024. Lagi-lagi pemilukada telah menguras anggaran yang cukup besar yakni Rp 155 miliar dan akan diusulkan penambahan anggaran yang fantastis untuk PSU sebesar Rp 168 miliar.

Bila dikomparasikan dengan masalah sepele perihal ketidaksesuaian alamat domisili dan dua suket yang dikeluaran pengadilan untuk Calon Wakil Gubernur Yermias Bisai adalah tidak adil, unbalanced. Padahal ini hanyalah demokrasi prosedural yang bersifat temporer untuk memilih pemimpin yang bisa memperjuangkan demokrasi substansial, terutama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyaraat di provinsi Papua kurun waktu lima tahun. Jika dirunut ke belakang, MK pernah melakukan pelanggaran etika berat karena membuat putusan yang  dianggap mengenaskan serta merusak sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia saat menjelang Pemilu 2024 lalu. MK membuat putusan yang membuka peluang bagi anak Presiden aktif Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka agar maju sebagai Calon Wakil Presiden dengan Calon Presiden Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.

MK seakan kehilangan akal sehat dan kenegarawanannya, dengan menutup mata membuat putusan kontroversial tersebut sebelum proses pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden kala itu. Yang mana, diduga Presiden Jokowi menggunakan tangan iparnya, Anwar Usman, Ketua MK RI untuk menjadi suksesor dan eksekutor dalam putusan tersebut. Padahal tindakan itu melanggar asas imparsialitas dan independensi hakim dalam memutus perkara, yaitu nemo judex idoneus in propria causa (tidak boleh ada yang menjadi perkaranya sendiri) atau nomo iudex in causa sua (tidak boleh ada yang menjadi hakim untuk perkaranya sendiri), yang telah dinormakan dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Sementara pemilukada Papua adalah jalan konstitusional yang telah dilalui ratusan ribu rakyat Papua untuk memilih pemimpin mereka secara adil, jujur, dan demokratis. Namun kemenangan itu dibatalkan atau disabotase oleh tiga orang Hakim Konstitusi, dengan memerintahkan pemungutan suara ulang yang mungkin saja antusiasme rakyat sudah mulai pudar. Karena mereka lelah dan terkuras energi pada pemilukada pertama dan juga menghadapi peliknya situasi hidup yang kian compang-camping ekonominya (menurut data Badan Pusat Statistik/BPS Provinsi Papua, 17 Juli 2023, jumlah penduduk miskin Papua sebesar 915,15 ribu orang atau 26,03 persen). Bahkan belum tentu ada jaminan bahwa PSU akan melahirkan pemimpin yang jujur, beramanah,  dan bisa mampu membangun, mendengarkan jeritan dan tangisan masyarakat Papua, serta menolak sikap hidup materialistik dan hedonistik, termasuk anti-korupsi. MK berikhtiar mencari kesempurnaan menurut versinya akan melewatkan yang terbaik,  yang telah dipilih dan kehendaki rakyat Papua, yaitu BTM-YB. MK telah mengabaikan aspek fundamental dalam penegakan hukum, yaitu keadilan. Menurut ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, apabila tiga tujuan hukum:  keadilan, kepastian, dan kemanfaatan saling bertentangan, maka yang lebih didahulukan adalah keadilan. Kepastian hukum adalah sesuatu yang normatif (tertulis), sementara keadilan dan kemanfaatan itu berada dalam wilayah penegakan yang menjadi ranah penegak hukum dalam menggunakan rasio, nalar, dan hati nurani untuk mengukur dan memproses atau memutus suatu kasus hukum.

Maka, MK jangan terlalu terpaku pada kepastian hukum, tetapi bisa merasionalisasi (menimbang)—dari ketiga unsur ini, mana lebih banyak—itulah menjadi dasar hakim mengambil keputusan mengikutinya. Dan sebelumnya, filsuf Aristoteles pernah mengatakan, tujuan hukum itu semata-mata mewujudkan keadilan. Karena itu, MK bergeming melihat persoalan pelanggaran dalam proses pemilukada Papua dengan optik positivisme hukum an sich, maka keadilan akan menjadi absurd dan terjepit. Atau dalam bahasa Immanuel Kant sekitar 200 tahun lalu, summum ius summa injuria, summa lex, summa crux. Artinya, kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar. Sebab, MK berusaha mempersoalan  hal  remeh-temeh, yaitu ketidaksesuaian alamat domisili yang melahirkan suket untuk Calon Wakil Gubernur Yermias Bisai, akan menunda segala pembangunan di provinsi Papua, termasuk menimbulkan inefisiensi anggaran yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Serta itu bentuk ikhtiar MK melakukan pengkerdilan terhadap kedaulatan rakyat yang telah menyalurkan hak politik melalui proses elektoral di provinsi Papua, 27 November 2024.

MK terlalu jauh mempersoalakan sesuatu di luar yuridiksinya, sebab masalah pemalsuan dokumen adalah murni domain hukum pidana yang bisa diproses di Gakkumdu: kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, kecuali lembaga-lembaga yang bewenang mengurus masalah tindak pidana pemilu tidak optimal bekerja. Atau laporan dan pengaduan yang masuk di lembaga-lembaga tersebut tidak diteruskan atau diproses, tentu MK bisa beralasan untuk mengambil alih. Tetapi laporan terkait kedua suket itu sudah diproses oleh Bawaslu, dengan melibatkan kejaksaan dan kepolisian namun  tidak cukup bukti, termasuk cacat formil karena pelapornya bukan ber-KTP Provinsi Papua,  akhirnya laporan tersebut dihentikan.

Jika bercemin dalam sistem peradilan pidana di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/MPI) yang hanya memiliki yuridiksi untuk mengadili atau menangani kasus-kasus negara. MPI  akan melakukan investigasi dan penuntutan bila pemerintah dalam suatu negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannya. Seperti dirumuskan dalam Statuta Roma (17 Juli 1998) membatasi ruang gerak MPI untuk tetap menghormati kedaulatan setiap negara, dengan memberi kewenangan kepada masing-masing negara memproses pelaku kejahatan. Namun, bila negara tidak mampu atau tidak berniat memprosesnya, maka yuridiksi MPI, yang merepresentasikan prinsip-prinsip universalisme dan institusi dunia, terpaksa mengambil alih kasus tersebut.

Sejatinya, MK memposisikan diri seperti MPI, yang menghormati kedaulatan atau wilayah hukum dari tiap lembaga di bawahnya, seperti Bawaslu, KPU, dan Gakkumdu, sekaligus menghormati setiap keputusan, kebijakan, dan diskresi yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku. Masalahanya, dalam kasus Pilgub Papua 2024, MK tampak fokus mengikuti kemauan posita/fundamentum petendi serta petitum (permintaan) Pemohon, dan tampak MK berkerut kening terhadap eksepsi  atau jawaban-jawaban dari Pihak Terkait (BTM-YB) maupun Termohon (KPU), akhirnya keadilan merana bagi rakyat Papua. Kalau pun MK melanjutkan permohonan Pemohon hingga ke fase pembuktian, harus memutus secara adil, dengan memerintahkan Bawaslu atau Gakkumdu untuk segera melanjutkan kasus dugaan pemalsuan dokumen persyaratan Yermias Bisai sebagai Calon Wakil Gubernur Papua, tanpa harus mendiskualifikasi YB dan membatalkan penetapan hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua.

Hingga proses pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Provinsi Papua tetap dilaksanakan, seraya proses hukum terhadap YB juga dilanjutkan sampai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa YB telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen berupa surat keterangan tidak pernah dipidana dan surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya, maka ia harus diberhentikan dari jabatan Wakil Gubernur Papua oleh Presiden (Pasal 78 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah). Bila putusan MK demikian, tentu menjawab rasa keadilan masyarakat Papua yang telah menyalurkan hak pilihnya, sekaligus meminimalisir pemborosan anggaran, hingga pembangunan di Papua pun mulai direalisasi, juga sebagai penghormatan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan dari kredo vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan). Karena sudah hampir 3 tahun provinsi Papua belum miliki Gubernur definitif yang punya kekuasaan penuh dalam mejalankan roda pemerintahaan di negeri ini.

Namun, semuanya sudah berlalu dan setiap putusan pengadilan harus dianggap benar dan wajib dihormati (res judicata proveritate habetur). Fakta itu netral, hingga setiap orang, termasuk hakim MK pun melihat dan memutus perkara ini berdasar fakta-fakta yang sesuai dengan versinya, dan hukum adalah seni berintepretasi (law is the art of interpretation). Hukum itu keras, tetapi itulah hukum (dura lex sed lex). Artinya, penegak hukum dalam harus profesional dalam menegakkan hukum, tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan  tekanan eksternal, termasuk anasir kepentingan partai politik atau partai penguasa. Mungkin sebagian dari kita tentu masih percaya bahwa hukum selalu memberi obat (lex semper dabit remedium), atau mengutip filsuf dan teolog terkenal Eropa Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, poena et poena, poena et medicine (pidana sebagai hukuman tetapi juga dilihat sebagai obat). Artinya, saat ini merupakan kesempatan terbaik untuk merehabilitasi semua kesalahan dan kejanggalan yang telah terjadi pada proses pemungutan suara pertama, 27 November 2024, demi memenuhi rasa keadilan semua pihak, terutama keadilan untuk para kontestan pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi Papua.

Hukum mengajarkan kita untuk terus berlaku baik dan menjauhkan sikap serta perilaku yang menyimpan dari ketentuan yang telah diatur dalam norma-norma hukum itu sendiri. Perlu diapresiasi juga kepada KPU Papua sebagai penyelenggara atas independensi dan integritasnya, tidak terbukti di MK melakukan kecurangan atau manipulasi suara dalam pemilukada kemarin. Termasuk pasangan calon yang yang dinyatakan sebagai peraih suara terbanyak, BTM-YB juga tidak terbukti melakukan kecurangan suara dalam pemilukada. Karena secara logika politik, kecurangan pemilu itu lazim dilakukan oleh para calon yang memiliki sumber daya yang cukup, baik finansial, kekuasaan, atau punya relasi pada kekuasaan. Apalagi BTM-YB hanya diusung satu partai politik dari total 18 parpol, yaitu PDI-P. Bahkan PDI-P pun bukan partai penguasa di negara ini, tetapi sebagai partai yang berada di luar pemerintahan, hingga potensi dilakukan intervensi atau kecurangan dalam pemilukada untuk memenangkan kadernya, itu sangat mustahil. Tentu bukan saja BTM-YB, tetapi pasangan calon Mar-yo juga tidak mungkin menghendaki praktik-praktik amoral itu terjadi dalam proses pemilukada ini. Sebab hal tersebut dapat mencederai demokrasi dan menghambat peradaban politik bermartabat di provinsi Papua dan Indonesia secara umum.

Semoga, aneka kekeliruan dan kelalaian yang telah terjadi sepanjang proses Pemilukada Provinsi Papua 2024 hingga putusan PSU ini  menjadi momentum kontemplasi dan proyeksi untuk kita semua, terutama para stakeholder pemilukada: KPU, Bawaslu, Gakkumdu, pemerintah, DPR,  masyarakt, dan pers, di hari kita memasuki—Retret Agung masa Prapaskah ini—dengan menjujung nilai pengampunan dan bela rasa, serta keadilan dan kebenaran. “Hidup yang tidak direnungkan tidak layak untuk dijalani (dihidupi),” kata Socrates, filsuf Yunani kuno! Liberte.