Oleh: Muhlis Ibrahim
Koordinator KATAM Maluku Utara

_______

“Sungai yang keruh adalah sebuah anomali.
Sungai yang keruh adalah sebuah antagonisme”.

JIKA bukit tidak lagi ada untuk hujan, dan hutan tidak lagi berfungsi untuk menyerap dan menyimpan, maka ada kekuatan keji yang bekerja di mana hutan raib dan tebing hilang.

Bidang bumi yang paling vital itu telah dieksploitasi oleh kekuatan yang tak nampak tapi jahat dan ganas. Ada semacam kekonyolan, di mana kombinasi antara kebakhilan dan ketamakan yang menyebabkan hutan gundul, sungai yang jernih berubah menjadi keruh. Dan pada akhirnya nasib masyarakat di sekitar seperti ranting kering yang menanti patah.

Sagea, adalah cerita tentang investasi yang rakus dan hasrat eksploitasi yang tak jera. Di mana hasil dari semua itu pada akhirnya menghimpun sebuah daya yang membalik dan destruktif: semula dengan gemuruh manusia mengalahkan alam, tapi kini ia seperti tak berdaya di depan alam yang hampir hancur.

Sagea adalah kisah tentang para pejabat penjaga peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, pemimpin-pemimpin yang tak bergerak karena kekenyangan suap, juga pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.

Rakyat marah, aktivis protes, media menulis. Selebihnya tak berdaya dan diam, lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang masih terus marah, tahu bahwa banjir dan sungai yang hancur ini adalah anak haram birokrasi korup, investasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di warung kopi yang riuh, dengan sejumlah teman dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam.

Mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan hakim akan menghukum para pelaku kerusakan sungai Sagea. Sebab kita semua tahu dengan persis bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa diproduksi oleh proses politik.