Tandaseru — Penanganan kasus dugaan korupsi anggaran pengadaan speedboat di Halmahera Utara, Maluku Utara, disoroti akademisi.

Pasalnya, beberapa waktu lalu Polres Halut kalah dalam praperadilan dan harus menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprindik) baru.

“Kasus dugaan korupsi seperti itu perlu ketelitian yang super dalam penyidikan hingga proses sidang. Jangan sampai terjadi seperti pengalaman lalu. Kalah praperadilan adalah suatu harga diri penegak hukum,” ungkap Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hein Namotemo (Unhena), Gunawan Hi. Abas, Rabu (25/8).

Menurutnya, penyidik kepolisian seharusnya mempunyai prinsip kehati-hatian sebagai penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam kasus pidana.

“Bagaimana tidak, bila seseorang sudah ditetapkan status tersangkanya kemudian kalah dalam praperadilan itu artinya penyidik sangat fatal tidak mempelajari dan memahami betul regulasinya. Seharusnya penyidik kepolisian berkoordinasi dengan Kejaksaan supaya proses penyelidikan sampai dengan penetapan tersangka tidak fatal dalam hukum. Ini persoalan koordinasi antara penegak hukum masih lemah,” tegasnya.

Ia bilang, dari sisi kinerja Polres perlu ditingkatkan. Sebab kemenangan para calon tersangka dalam praperadilan jangan sampai mengundang asumsi liar dari masyarakat.

“Untuk itu, ini PR baru buat penyidik kepolisian. Apakah dengan dimenangkannya praperadilan kasus korupsi speedboat tersebut sudah selesai? Bisa juga tidak. Bisa saja ditetapkan kembali tersangka asal penyidik memiliki bukti baru, sedikitnya dua alat bukti. Tapi itu membutuhkan kerja keras dan saling koordinasi penegak hukum dengan baik,” jabar Gunawan.

“Kami tentu berharap hal administrasi sepele pun itu harus dipahami oleh penyidik, sehingga proses penyelidikan jangan sia-sia dibatalkan demi hukum nanti. Jangan sampai kalah dalam praperadilan menimbulkan asumsi miring oleh masyarakat,” tandasnya.