Oleh: Asmar Hi Daud
Laut kembali menangis di Maluku Utara.
Kali ini, tangis itu menggema dari Gugus Pulau Makayoa—wilayah yang tengah diperjuangkan menjadi daerah otonom baru, dikenal sebagai lumbung ikan dan pusat tradisi maritim yang telah berakar lama. Di tengah harapan akan masa depan yang lebih baik, dentuman bom ikan kembali pecah, melukai tubuh laut dan ingatan kolektif masyarakat pesisir.
Ini bukan lagi berita baru. Tapi justru karena itu, ia menyimpan luka lama yang tak kunjung sembuh. Negara terus absen, dan masyarakat terus menanggung akibat.
Ledakan bom ikan bukan hanya menghancurkan ekosistem laut tapi menghancurkan harapan. Terumbu karang luluh lantak, ikan-ikan mati massal, dan kehidupan masyarakat pesisir terpuruk.
Apa yang seharusnya menjadi sumber penghidupan justru berubah menjadi sumber kerusakan. Dan yang lebih menyakitkan, pelakunya seringkali bukan orang luar, tapi juga warga yang terdesak kebutuhan, miskin kesadaran, dan melihat ruang kosong dari pengawasan.
Hukum Tak Bertaji, Pokmaswas Lumpuh
Peristiwa di Makayoa pekan ini dan perairan Halmahera Selatan pada umumnya, menunjukkan betapa lumpuhnya sistem pengawasan laut kita. Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk dengan semangat partisipatif nyaris tidak berjalan. Minim pelatihan, tanpa peralatan, tanpa insentif, dan tanpa perlindungan hukum. Mereka hanya dijadikan etalase partisipasi, tanpa daya dalam praktik.
Sementara aparat penegak hukum seperti Polairud atau dinas terkait, tidak rutin melakukan patroli. Respons terhadap laporan masyarakat lambat. Bahkan, di grup percakapan warga, muncul nada-nada frustrasi:
“Tangkap pa dorang itu! Suru masyarakat tangkap baru stor ke polisi.” Kalimat itu adalah sinyal bahaya. Seloroh ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada jalur hukum formal.
Luka Ekologis, Luka Sosial
Bom ikan adalah bentuk kejahatan lingkungan yang ekstrem. Tindakan tersebut bukan hanya merusak satu generasi ikan, tetapi mematikan seluruh sistem penyangga kehidupan laut. Laut yang rusak tidak bisa cepat pulih. Dan masyarakat yang bergantung padanya pun akan kehilangan sumber pendapatan, lalu masuk ke dalam siklus kemiskinan dan konflik sosial.
Lebih jauh, praktik ini menunjukkan kegagalan kita sebagai negara maritim. Di tengah klaim sebagai poros maritim dunia, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bahkan menjaga laut dari bom ikan pun kita belum mampu.
Dari Makayoa, Menjaga Harapan
Kasus di MAKAYOA harus menjadi titik balik. Kita tidak bisa lagi menormalisasi bom ikan sebagai ‘tradisi salah kaprah’. Negara harus hadir dengan cara yang benar—bukan sekadar reaktif setelah kasus viral, tetapi hadir secara preventif, struktural, dan partisipatif.
Lima langkah penting harus dilakukan:
Pertama; Aktivasi kembali Pokmaswas secara serius, lengkap dengan pelatihan, peralatan sederhana, dan perlindungan hukum.
Kedua; Patroli rutin dari aparat gabungan, dengan prioritas wilayah-wilayah rawan seperti Makayoa, Gane, dan Bacan Selatan.
Ketiga; Penegakan hukum yang tegas dan transparan, agar pelaku benar-benar jera.
Keempat; Edukasi masyarakat secara terus menerus, mulai dari rumah, dari sekolah, mesjid, hingga komunitas desa, tentang bahaya bom ikan dan pentingnya menjaga ekosistem laut, dan
Kelima: Dorong ekonomi alternatif di desa pesisir, seperti budidaya, pengolahan hasil perikanan, atau ekowisata berbasis komunitas.
Jangan Biarkan Ledakan Jadi Normal
Bom ikan tidak boleh dianggap biasa. Itu adalah kejahatan ekologis dan pengkhianatan terhadap masa depan anak-anak kita. Jika negara terus abai, dan masyarakat terus frustrasi, maka ledakan-ledakan itu tidak hanya menghancurkan laut, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap negara.
Dari Makayoa, kita belajar bahwa laut bukan sekadar ruang ekonomi, tapi juga ruang keadilan dan tanggung jawab bersama.
Tinggalkan Balasan