Oleh: Fahmi Djaguna

Sekretaris Umum ICMI Orda Pulau Morotai

_______

DALAM pusaran demokrasi yang hiruk-pikuk, kebenaran kerap terombang-ambing antara niat baik dan kepentingan tersembunyi. Pernyataan Fraksi Gerindra dalam paripurna penyampaian rekomendasi LKPJ 2024, dengan menyoroti soal penonaktifan 11 kepala desa di kabupaten Pulau Morotai menjadi contoh nyata bagaimana politik bisa menjadi arena narasi ganda yakni antara kritik, solidaritas kolektif, dan sikap terhadap kekuasaan.

Fraksi Gerindra mengoreksi pernyataan sebelumnya yang sempat mengundang kontroversi. Mereka menegaskan bahwa sama sekali tidak membela pelaku korupsi. Sebaliknya, mereka menyoroti mekanisme penonaktifan yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendagri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa. Fraksi ini menyoal bahwa prosedur hukum dan asas kemanusiaan diabaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengambil keputusan.

Namun di sinilah letak kegamangan narasi itu bermula. Kritik Fraksi Gerindra terhadap prosedur pemberhentian memang seolah berdiri di atas pondasi legalisme dan kemanusiaan. Namun, ketika dikaitkan dengan temuan penyalahgunaan dana desa yang sangat besar oleh sebelas kades tersebut, publik bertanya-tanya; apakah kepatuhan prosedural harus mengalahkan urgensi moral atas praktik korupsi yang nyata?

Penting untuk ditegaskan, Pemda tidak langsung memberhentikan para kades, melainkan menonaktifkan mereka sebagai respons atas hasil audit dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) serta Inspektorat Pulau Morotai. Artinya, tindakan tersebut adalah bentuk kehati-hatian administratif agar proses penegakan hukum tidak mengganggu jalannya pemerintahan desa. Namun, pernyataan Fraksi Gerindra justru memberi kesan bahwa langkah Pemda itu seolah tergesa-gesa dan berpotensi mencederai hak para kades, yang notabene tengah berhadapan dengan tuduhan serius.

Lebih jauh, narasi bahwa para kades memiliki keluarga dan “kemanusiaan” yang harus dipertimbangkan, membuka ruang tafsir yang rumit. Bukankah setiap koruptor juga manusia yang memiliki keluarga? Namun kita tidak menawar prinsip keadilan hanya karena pelakunya punya ikatan emosional. Di sinilah Fraksi Gerindra terperangkap dalam narasi yang kontradiktif. Di satu sisi, mereka mengutip nilai kemanusiaan dan hukum prosedural, namun di sisi lain justru menafikan urgensi moral dan semangat pemberantasan korupsi sebagaimana termaktub dalam Asta Cita ke-7 Prabowo Subianto, Ketua Umum partai mereka sendiri.

Publik tentu tidak bisa melupakan bahwa korupsi dana desa bukanlah pelanggaran biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap akar rakyat. Jika benar ada temuan kuat dari PMD dan Inspektorat, maka tindakan Pemda menonaktifkan kades justru patut diapresiasi sebagai langkah awal menuju pemulihan kepercayaan publik.

Sayangnya, pernyataan Fraksi Gerindra mengaburkan pesan moral ini. Alih-alih berdiri tegak bersama rakyat dalam memerangi korupsi, pernyataan mereka malah menebar kebimbangan antara menjaga citra kemanusiaan atau menegakkan cita-cita pemberantasan korupsi.

Di sinilah kita belajar bahwa kawan dalam politik bukanlah kawan dalam kebenaran. Kritik memang penting, namun kritik tidak boleh berfungsi sebagai pembenaran terselubung terhadap kekeliruan kolektif. Bila motifnya adalah menjaga marwah hukum dan asas prosedural, maka narasinya harus tegas sejak awal; mendukung proses hukum, mendesak sanksi yang adil, dan menjaga akuntabilitas institusi desa. Bukan malah melunakkan makna pelanggaran dengan sentimen kemanusiaan yang selektif.
Kekuasaan memang memberi panggung pada siapa pun untuk bicara, tapi integritas memberi bobot pada kata-kata. Fraksi Gerindra harus menyadari, bahwa narasi yang ambigu hanya akan membuat rakyat kehilangan arah antara siapa yang benar-benar membela mereka dan siapa yang sekadar memainkan peran.

Hari ini, kita membutuhkan politikus yang tidak hanya pandai bicara tentang hukum dan kemanusiaan, tetapi juga teguh berdiri di atas komitmen antikorupsi tanpa tawar-menawar. Jika Asta Cita ingin menjadi cahaya, maka setiap kader partai harus menjadi pelita yang tak redup oleh kompromi kepentingan.

Karena dalam demokrasi yang sehat, kritik bukan sekadar soal prosedur, kritik adalah cermin nurani. Dan kekuasaan bukan ruang berlindung, melainkan tempat berdiri tegak menghadapi godaan. (*)