Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

“Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang kejujuran dan tanggung jawab ASN terhadap jam kerja. Kita ingin kerja yang terpantau dengan akurat dan berdampak”

Era Disiplin ASN Malut Masuki Babak Baru

KBRN, Sofifi: Komitmen Gubernur Maluku Utara Sherly Laos dalam memperkuat kedisiplinan ASN kini diwujudkan melalui peluncuran aplikasi absensi Palm Vein, Senin (19/5/2025), usai pelaksanaan Upacara Hari Kesadaran Nasional di Kantor Gubernur Maluku Utara.

Aplikasi Palm Vein menggunakan teknologi pemindaian pembuluh darah telapak tangan sebagai sistem absensi pegawai. Teknologi ini dikenal memiliki tingkat akurasi tinggi dan sulit dipalsukan dibandingkan metode sidik jari konvensional.

“Hari ini saya bersama Pak Wagub melaunching sistem absensi Palm Vein sebagai bentuk manifestasi komitmen terhadap kedisiplinan ASN,” ujar Gubernur Sherly.

Ia menjelaskan, sistem ini tidak hanya menjadi alat kontrol kehadiran, tetapi juga sarana membangun budaya kerja yang disiplin dan terukur.

Peluncuran tersebut turut dihadiri Kepala Dinas Kominfosan, Kepala Dinas ESDM, Kepala Dinas PMD, Kepala Biro Organisasi, dan Biro Administrasi Pimpinan. Mereka bersama Gubernur melakukan uji coba langsung terhadap sistem baru tersebut.

“Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang kejujuran dan tanggung jawab ASN terhadap jam kerja. Kita ingin kerja yang terpantau dengan akurat dan berdampak,” kata Sherly.

Gubernur perempuan pertama di Malut ini juga menyampaikan bahwa kondisi keuangan Pemprov Malut saat ini dalam keadaan baik. Dengan demikian, pembayaran gaji dan TPP ASN dapat segera direalisasikan setelah proses administrasi dinyatakan lengkap.

Ini adalah berita media _https://rri.co.id_, 19 Mei 2025 kemarin. Saya memang sengaja mengutipnya agak utuh, biar tak bias. Bagi saya, ada hal yang menarik dikomentari.

Banyak pimpinan instansi hingga kepala daerah, telah cukup banyak bicara tentang disiplin stafnya. Meski juga, ada yang tak terlalu faham korelasinya dengan variabel lain yang mengiringinya.

Prilaku disiplin sudah menjadi isu sejak lama, bahkan seusia sejarah berpemerintahan itu sendiri. Dalam pengertian umum, disiplin adalah sikap sadar untuk mentaati aturan yang berlaku tanpa pamrih. Kata-kata penggugah ini, terpahat di setiap sudut dinding Kantor Wilayah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku, ketika saya di tahun 1995, berurusan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di sana, sebelum pemekaran wilayah Provinsi Maluku Utara. Saya masih mengingatnya hingga saat ini. Dalam arti sempit, disiplin sering di pahami sebagai prilaku datang dan pulang kantor tepat waktu.

Tetapi bagaimana memberikan perspektif yang lebih cerdas, dinamis, dan menggugah, saya terkesan dengan kata-kata ini: “Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang kejujuran dan tanggung jawab ASN terhadap jam kerja. Kita ingin kerja yang terpantau dengan akurat dan berdampak”. Juga pernyataan ini, “sistem ini tidak hanya menjadi alat kontrol kehadiran, tetapi juga sarana membangun budaya kerja yang disiplin dan terukur”.

Membangun budaya kerja yang disiplin dan terukur, memang tak semata-mata soal urusan absensi, datang dan pulang tepat waktu. Apalagi untuk menyiasati problem khas Pemerintahan Provinsi Maluku Utara saat ini. Kita dihadapkan pada banyak fakta minor dan “tak normal”. Rentang kendali pelayanan, domisili ASN, hak-hak keuangan ASN, manajemen dan tata kelola ASN, kultur dan budaya kerja di lingkungan kerja, cuaca laut yang kadang ekstrim, dan lain-lain.

Bagaimana mendekati sesuatu pekerjaan itu dari perspektif penghayatan nilai-nilai positif, saya punya secuil pengalaman. Dulu di sekitar tahun 1996, ketika menjadi guru pada SMAN 1 Soasio di Tidore, saya mencoba untuk bertekad tak terlambat ke sekolah. Di rentang tiga bulan, di radius jarak lebih dua kilometer, saya tak pernah terlambat apel pagi. Ternyata mengasikkan juga rasanya. Istilah kocak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, ternyata enak juga barang ini. Tapi tentu konteksnya berbeda, tak mungkin juga ASN pada Pemerintah Provinsi Maluku Utara, yang domisilinya di Ternate dan Tidore, dipaksa untuk tidak terlambat ke kantor dengan berenang, misalnya.

Soal digitalisasi pelayanan yang gencar saat ini, bisa jadi variabel lain yang kontras juga. Seorang kepala daerah yang baru dilantik dan pernah viral, sempat mengungkap keheranannya di depan stafnya, makin gencar pendekatan pelayanan berbasis digital, makin besar biaya perjalanan dinasnya.

Ini terjadi di Pemerintahan Daerah Kota Tidore Kepulauan. Karena “tersandera” opini media saat itu, di tahun 2010, soal pejabat yang doyan ke Jakarta atas nama perjalanan dinas, saya pernah mencoba “puasa”. Meski unit yang saya pimpin, punya anggaran relatif besar karena mengelola urusan pelayanan dasar dan potensi ASN yang relatif banyak. Alhasil, di rentang lebih dua tahun sejak dilantik hingga berpindah jabatan, saya tak pernah sekalipun ke Jakarta. Dan justru jadi sisi lain, pengimbang berita media.

Sebagai ASN yang punya pengalaman mengelola unit dengan jumlah ASN yang cukup banyak di daerah, dan pengalaman menjadi staf di kurang lebih sembilan kepala daerah berbeda, ada variabel yang bagi saya, perlu menjadi perhatian. Pendekatan yang manusiawi, berkeadilan, dan kultur di lingkungan kerja yang kondusif. Meski tak punya data riset, saya percaya bahwa variabel begini di rindui banyak ASN kita. Bukan semata-mata juga soal konpensasi kinerja dalam bentuk pendapatan yang harus diterima. Ada variabel aktualisasi diri, mungkin yang dimaksud Abraham Maslow dengan Teori Hierarki Kebutuhannya. ASN itu orang dewasa, berpendidikan cukup, berakal sehat dan punya rasa. Dia pasti merindui suasana cair penuh canda dan tawa, kekeluargaan, saling terbuka, dan perlakuan yang berkeadilan.

Di lingkungan pendidikan sekolah, pernah ada hasil riset sekian tahun lalu di Amerika Serikat, mengungkap kultur sekolah sebagai salah satu variabel determinan yang mengakses sukses belajar siswa di sekolah-sekolah di negara itu.

Mayoritas publik kita, pasti berkesimpulan sama, meski sering mudah lupa, bahwa tata kelola pemerintahan kita satu dekade terakhir, khususnya manajeman ASN, benar-benar memprihatinkan. Simak salah satu dari dua variabel utama yang diendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, jual-beli jabatan.

Sampel efek langsung dari fakta buruk itu menimpa karib saya, sesama ASN di lingkungan Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, beberapa tahun lalu. Kisahnya, dia salah satu pejabat eselon ll ketika itu. Malam itu, dia masih mewakili melaksanakan tugas atasannya, sang gubernur. Di dini harinya, diberi tahu lewat telepon untuk mengikuti gladi dan pelantikan pejabat. Paginya di ruangan pelantikan itu, dia diberhentikan dari jabatannya. Bukan dia sendiri, 10 rekan lainnya bernasib sama. Selang sebulan kemudian, mereka dijatuhi hukuman disiplin sedang/berat, atau setara tak pernah masuk kantor 45 hari kerja. Dan anehnya, tak ada surat keputusan pejabat pembina kepegawaian daerah, untuk penempatan pada jabatan barunya, semuanya mengambang. Padahal itu tindakan yang nyata-nyata mengebiri hak-hak ASN. Tindakan sewenang-wenang dan membunuh karir ASN seperti begini, bukan hal yang luar biasa. Semuanya seperti dianggap biasa-biasa saja. Belakangan baru diketahui, Komisi Apratur Sipil Negara [KASN] di Jakarta, tak memberi rekomendasi ijin lelang jabatan bagi 11 jabatan yang kosong itu. Ini trik menemukan jawaban duluan, baru membuat soalnya. KASN merekomendasikan untuk dikembalikan ke jabatan semula karena dianggap cacat prosedur dan melanggar aturan. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) saat itu, Idrus Assagaf, ngotot menggunakan segala jurus. Hingga salah satu komisioner KASN, mengancam melaporkan gubernur ke presiden, dan ini menjadi headline media Malut Pos, 26 Desember 2019. Bisa dibilang ini periode paling buruk dalam sejarah penataan manajemen ASN Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Banyak kasus-kasus begini berkelindan ketika itu, jika ditelusuri. Dan bukan hal luar biasa lagi bagi publik kita. Membenahi mentalitas dan prilaku aparatur seperti begini yang sulit, jauh melebihi soal absensi kehadiran, karena dampak dan psikologi merusaknya bisa sistemik.

Ada perspektif lain, karier ASN tertentu itu dibangun, jauh melampaui periode pemilihan kepala daerah secara langsung, yang baru dimulai tahun 2005. Masa iya, implikasi buruknya, hingga mengancam dan membunuh jerih payahnya bertahun-tahun menata “bata demi bata” dari bangunan karirnya, hanya karena berubahnya sistem politik dan kenegaraan bernama “pemilihan langsung” itu. Ini juga tidak fair. Pemegang otoritas tertinggi soal ini di Jakarta, harus mempertimbangkan ulang implikasi-implikasi buruk yang cenderung sistemik begini. Pada akhirnya, ASN yang rasional, terpaksa mendefenisikan ulang rasionalitasnya karena berhadapan dengan fakta yang irasional begini.

Urusan aplikasi untuk mengakses prilaku disiplin ASN di Pemerintah Provinsi Maluku Utara, memang bukan hal baru. Yang membedakan, mungkin akurasinya saja. Tetapi apapun itu, kita tak bisa terus-menerus dipandu olehnya, bisa mendegradasi akal sehat. Kita semua butuh “aplikasi” berbasis kesadaran kemanusiaan.

Apapun jenis pendidikan dan latihan (diklat) tekhnis bagi aparatur pemerintahan yang diikuti, ketepatan mengambil keputusan adalah lokusnya. Dan variabel leverage-nya ada pada komitmen pimpinan. Membangun disiplin staf, kultur di lingkungan kerja, perspektif nilai tentang sesuatu pekerjaan sebagai amanah dan tanggung jawab, dan bukan sekedar sebuah siklus transaksional berdasar prinsip hak dan kewajiban, memang bukan pekerjaan sekali jadi. Dia butuh konsistensi dari treatment yang tepat bertahun-tahun. Sama seperti membangun kebiasaan-kebiasaan positif dalam sebuah keluarga. Dan Peringatan Hari Kesadaran Nasional tadi, kalau tak bisa di sebut “pertobatan nasional”, salah satu momentumnya. Wallahua’lam. (*)