Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

RAMADAN, bulan suci penuh berkah dan ampunan, segera mencapai pengujungnya. Kaum Muslim di seluruh dunia telah menjalani ibadah puasa selama hampir sebulan, menahan diri dari makan, minum, dan segala bentuk perilaku negatif dari fajar hingga magrib. Namun Ramadan bukan sekadar ibadah fisik; Ramadan lebih merupakan momentum spiritual untuk refleksi, transformasi diri, dan memperkuat hubungan sosial.

Menurut Syed Hussein Nasr (2004), Ramadan merupakan bulan yang menawarkan “pembersihan spiritual” dan menjadi ruang untuk memperdalam hubungan manusia dengan Sang Khalik, Allah SWT dan sesamanya.

Dalam praktiknya, Ramadan mendorong kaum Muslim untuk meningkatkan amal, memperbanyak dzikir, dan memperkuat solidaritas sosial melalui zakat dan sedekah. Tradisi ini tak hanya memperkaya aspek religius, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas (Geertz, 1960).

Namun, menjelang akhir Ramadan, tantangan yang muncul adalah dapat menjaga semangat spiritual yang telah dibangun agar tidak pudar pasca Idulfitri secara konsisten. Banyak yang merasa spiritualitas Ramadan bersifat temporer. Jurgen Habermas (2006) menyinggung tentang “rasionalisasi kehidupan modern” yang membuat religiusitas sering terjebak dalam ritualisme tanpa transformasi substantif. Dalam konteks ini, Ramadan bisa kehilangan maknanya jika hanya dimaknai sebagai kewajiban formal tanpa internalisasi nilai.

Di tengah modernitas dan digitalisasi, Ramadan juga mengalami perubahan bentuk dan makna. Kehadiran media sosial, misalnya, menghadirkan fenomena baru dalam cara kaum Muslim mengekspresikan ibadahnya. Menurut Fuchs (2014), digitalisasi sering kali mengaburkan batas antara kesalehan nyata dan performatif. Berbagai unggahan tentang ibadah Ramadan di media sosial bisa menciptakan ruang untuk menunjukkan identitas religius, tetapi juga bisa menjadi alat kapitalisasi simbolik. Serba muspra, serba artifisial semata.

Ketika Ramadan segera berlalu, penting bagi kaum Muslim untuk merefleksikan apa yang benar-benar diperoleh dari bulan suci yang akan segera berlalu. Apakah Ramadan hanya menjadi rutinitas tahunan, ataukah benar-benar membawa perubahan dalam hidup?

Transformasi spiritual seharusnya tak berakhir saat bulan berganti, melainkan menjadi fondasi untuk kehidupan yang lebih bermakna sepanjang tahun, sepanjang hayat. (*)