Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

BEBERAPA tahun lalu, lembaga Ombudsman Perwakilan Maluku Utara pernah merilis skor pelayanan publik dari semua level pemerintahan di Maluku Utara. Hasilnya, bisa disimpulkan belum baik. Kenapa data Ombudsman yang dirujuk, karena inilah lembaga yang tugas pokoknya mengurusi soal-soal begini.

Kemarin (14/1), ada berita media. Di level sebuah instansi pemerintahan daerah, ada publikasi hasil indeks inovasi daerah terhadap kinerja perangkat daerahnya. Hasilnya, ada 4 OPD yang dinilai sangat inovatif, 7 inovatif, 6 kurang inovatif dan 29 sisanya mendapatkan predikat tak dapat dinilai. Ini publikasi kementerian terkait di Jakarta, yang sudah tentu bukan abal-abal. Meski bukan satu-satunya indikator penilaian kinerja tetapi variabel ini bisa di bilang variabel kunci. Kenapa, karena muaranya adalah pelayanan publik. Pemerintahan itu dibentuk untuk mengases urusan ini. Kesejahteraan umum, istilah dalam Pembukaan UUD 1945.

Juga terbaca dari konfirmasi data bahwa ini termasuk capaian yang luar biasa dari pimpinan daerahnya yang masih berstatus penjabat kepala daerah ini. Tahun 2023, posisi indeks inovasi daerah yang dipimpinnya naik dari peringkat 34 menjadi 12 dari 34 provinsi. Tahun 2024, bisa mempertahankan posisi 12 tetapi dari 38 provinsi. Tentu ini sebuah lompatan output kinerja yang hebat dan patut diapresiasi. Ini alasan saya untuk menulisnya.

Ada lembaga pemeriksa keuangan pemerintah yang punya katagorisasi lain. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan Disclaimer. Itu penamaan saja untuk mengakses substansi hasilnya.

Apa itu inovasi, semua orang paham definisinya. Ada celah kinerja yang harus disiasati untuk memudahkan dan memaksimalkan output. Rektor Universitas Khairun, Dr. M. Ridha Ajam, M.hum, beberapa hari lalu meluncurkan 3 unit usaha baru, untuk mendukung pengembangan Unkhair sebagai Badan Layanan Umum (BLU), yang berlokasi di jantung ekonomi Kota Ternate. Sang rektor yang bijaksana dan terkesan tak suka publikasi ini, berpesan soal penting Unkhair sebagai institusi BLU, untuk menjaga kemandirian dalam kegiatan dan penganggaran.

Jelang waktu Magrib, saat melayat keluarga yang berduka di kampung sebelah, bersua seorang karib. Dia rektor sebuah perguruan tinggi swasta di Maluku Utara. Dia juga mantan sekretaris sebuah perangkat daerah di pemerintahan yang dinilai tadi, yang mendapatkan predikat sangat inovatif itu.

Karib ini berkisah soal formulanya bisa mendongkrak skor dan bobot penilaian yang dipersyaratkan. Semua pemegang jabatan hingga eselonisasi terbawah diwajibkan punya minimal satu ide dan gagasan kinerja yang inovatif. Tak lupa, perangkat daerah yang punya tugas pokok terkait soal ini, diminta memberi bimbingan dan pendampingan. Dia juga mengklaim, hasil hari ini adalah bagian dari kiatnya kurang lebih setahun lalu.

Bukan hal baru lagi, konsep tentang reinventing government dari David Osborne dan Ted Gaebler. Intinya, transformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Apalagi di era otonomi daerah, di mana aspek “kemandirian” menyaratkan adanya produktivitas dan efisiensi kerja yang optimal. Pentingnya kualitas layanan umum dan ekspektasi publik penerima layanan yang makin tinggi dari waktu ke waktu adalah alasannya.

Di sektor pendidikan khususnya sekolah, sudah lazim diterima bahwa kultur sekolah adalah variabel determinan mengakses berbagai potensi pada diri siswa secara maksimal. Dia bisa didefinisikan sebagai proses dari keseluruhan interaksi positif yang terjadi, yang memungkinkan keseluruhan individunya merasakan adanya kenyamanan dalam interaksi belajar, yang mendasari munculnya benih kreativitas dan inovasi. Dan guru yang hebat adalah dia yang mampu menyediakan iklim interaktif yang memungkinkan munculnya segala potensi positif yang dimiliki siswa. Termasuk menjadi lebih kreatif dan inovatif.

Di perusahaan-perusahaan yang hebat, di berbagai level dan katagori, kinerja dan omsetnya senantiasa berkorelasi positif dengan kepemimpinan yang hebat pula dari sang manager. Dan salah satu “kehebatan” itu adalah menjaga ritme stabilitas, memaksimalkan potensi dengan menekan serendah-rendahnya “potensi ancaman”. Potensi ancaman itu bisa berbentuk ketdakpuasan, “perang dingin” antarpimpinan dan staf hingga protes dan unjuk rasa secara terbuka. Gejala ini paling sering terbaca dari berita media di daerah ini. Di mana saja lembaga pelatihan aparatur pemerintahan, ini salah satu materi dan panduan pokoknya.

Sekian puluh tahun lalu, ketika menjadi pimpinan sebuah perangkat daerah yang mengelola urusan pendidikan di sebuah level pemerintahan daerah, saya pernah menyiasati aroma ketidakpuasan di level sekolah soal distribusi anggaran dengan mempresentasikan secara terbuka Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) di depan semua kepala sekolah dalam sebuah rapat khusus untuk itu. Ketika itu, DPA atau APBD-nya kantor ini, dianggap begitu sakral, mungkin melebihi kitab suci agama. Hanya “orang-orang penting” dan tertentu saja yang tahu isinya. Hasilnya, banyak yang menyadari salah pengertiannya hingga kecurigaan yang tak cukup alasan. Seorang kepala sekolah yang agak rasional mengomentari, mungkin hal ini baru pertama terjadi di Indonesia.

Secara teoritik hingga merujuk informasi dari karib saya tadi, mungkinkah variabelnya adalah iklim di lingkungan kerja? Entahlah. 29 perangkat daerah yang mendapatkan katagori tak dapat dinilai itu, pasti bukan yang terbaik karena diurutkan dari atas, bukan dari bawah. Dan ini sebuah jumlah yang besar.

Sang rektor, juga karib saya di kampung tadi yang juga seorang rektor, bisa mengorganisir stafnya, memberi perintah dan menggerakkannya. Mungkinkah hal itu tak bisa lakukan oleh yang lain? Bisa jadi begitu. Karena potensi dan inisiatif kerja di level paling bawah itu ada pada staf. Jika mereka “tak bergerak” berarti ada mata rantai yang terputus dalam menggerakkan roda organisasi yang terputus. Itu logika itu umum.

Yang sedikit pasti, perangkat daerah yang mendapat predikat sangat inovatif hingga yang inovatif tadi, jarang saya lihat publikasi medianya soal output kinerjanya. Mungkin saja mereka “bekerja dalam diam”. Kontras dengan yang lain, meski tak jelas output-nya.

Secara umum, poin lebih patut di berikan buat Penjabat Kepala Daerahnya, seorang pamong, yang dipandang mampu menggerakkan kinerja organisasi secara baik.

Frasa “tak dapat dinilai”, secara fisik, mengasosiasikan objek itu tak jelas. Bisa buram atau bahkan gelap, yang tak terdeteksi pancaindra. Maka tak bisa diberi bobot nilai. Ada yang bekerja “dalam gelap” (tak banyak publikasi) tetapi hasilnya “terang”, terbaca bobot nilainya. Tetapi banyak juga yang bekerja “dalam terang” (cukup publikasi media) tetapi hasilnya justru “gelap” dan “tak dapat dinilai”. Celah masalah baru lagi yang butuh inovasi menyelesaikannya. Wallahua’lam. (*)