Sejujurnya saya sempat tertegun beberapa saat meski telah mengenal betul siapa sosok sekaligus senior ini. Kami melanjutkan percakapan soal soal mentalitas anti akademis yang diungkap Ko Ipul tadi dan pandangannya sama. Dia menegaskan bahwa yang jarang dipikirkan orang adalah bahwa selain berpikir dan menulis, ada juga biaya cetak. Yang tipe begini biasa bermental plagiator yang mau untung sendiri, disertai emoji tertawa lepas. Saya menimpalinya, kalau itu buku setebal 20 atau 30 halaman, mungkin kita juga akan berpikir memberinya gratis, hitung-hitung sebagai ibadah juga. Tetapi ini 400-an halaman.
Dia berkisah saat kuliah dulu di Manado, bahwa pernah ada gerakan anti beli satu koran dibaca bergilir. Masing-masing membelinya meski lagi kere (berkekurangan duit) tetapi tetap dengan prinsip mendapatkan ilmu, dapat informasi sekaligus mendukung perusahaan media untuk terus terbit.
Sosok ini adalah Anshar Gunawan, yang sering disapa Ko Anca, senior sekaligus sesama alumni Manado dulu, yang memberi saya nyaris seratus persen inspirasi pada tulisan ini. Saya spontan memberinya jaminan bahwa ini adalah konten tulisan saya yang akan terbit berikut.
Kami menyepakati satu hal bahwa tradisi akademis itu akan tersemai subur di lingkungan tempat kuliah yang menjunjung tinggi nilai-nilai ini. Dan itu akan terasa dan membekas dalam jangka yang lama. Kesan saya semalam, nyaris sama ketika sosok Muhammad Kasuba yang merespon begitu cepat ketika saya meminta beliau memberi sedikit endorsement atas buku saya itu. Saya menghargainya dengan mengantarkan untuk beliau satu eksemplar buku. Berbeda respon yang saya rasakan dengan beberapa teman orang kampus hingga yang mengklaim diri cendekiawan.
Menyebut Ko Anca, publik di Tidore familiar dengan nama ini. Mungkin juga di Maluku Utara. Beliau Direktur PDAM Kota Tidore Kepulauan saat ini. Juga Ketua organisasi profesi para tukang ledeng, terminologi merendah yang sering dipakai senior ini, untuk level wilayah Maluku Utara. Perpamsi namanya.
Di keseharian, apalagi di komunitas anak muda terpelajar di Tidore, beliau adalah sosok panutan dalam banyak hal. Kehadirannya di ruang-ruang publik macam kedai kopi misalnya, laksana oase yang memberi harapan. Sosoknya terkesan tulus dan bukan tipikal penimbun kekayaan. Ringan tangan dan menyantuni siapa saja, bahkan hingga yang faktanya tak perlu disantuni.
Saya termasuk tipikal orang yang menghayati benar prinsip hidup: kebahagian tertinggi itu, ketika kita melihat orang lain bahagia karena kebahagiaan kita. Tetapi ketika mendengar kisah tentang Ko Anca dari seorang karib, saya benar-benar lempar handuk. Betapa tidak, ketika sepulang gajian dari kantornya sebagai anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan kala itu [beliau pernah menjadi unsur pimpinan DPRD], semua gajinya ludes ketika tiba di kediamannya. Bisa dibayangkan, besarannya. Dan bisa dibayangkan pula bagaimana respon sang istri dan keluarganya. Bagi saya, ini kisah langka. Lalu kemana saja duit-duit dari hasil kerja itu, sudah pasti, bagi-bagi. Kepada siapa saja yang ditemui dan perlu disantuni. Dan tentunya saja soal siapa itu, bukan dengan kriteria kita.
Tinggalkan Balasan