Oleh: Sahriyanto Boinauw

Ketua Umum PC IMM Kota Sorong

_______

VARIASI polemik yang terjadi dalam carut-marut dinamika politik bangsa kita hari ini, telah membuka banyak atensi, baik di kalangan akademisi, politisi, pemuka agama dan juga masyarakat. Terbukanya atensi di kalangan pihak-pihak tersebut, membuat mereka terjun dalam memberikan penilaian maupun analisis terkait dengan dinamika politik yang terjadi, keterlibatan ini mengindikasikan banyaknya analisis.

Namun, akumulasi analisis tersebut tidak bisa dipakai sebagai satu parameter ataupun rujukan untuk menyudutkan ataupun menganggungkan satu pihak tertentu. Karena, nyatanya sumber ataupun data yang disajikan bukan merupakan satu bentuk validasi yang akurat atau masih dapat dibantah dengan sumber dan data yang lain namun jika tidak dapat dibantah maka ada kemungkinan bisa untuk dijadikan rujukan.

Kita sebagai orang yang memberikan analisis ataupun yang mendengar analisis, perlu kiranya secara objektif mencermati, meneliti dan memahami. Hal itu bisa dilakukan dengan cara filterisasi isu ataupun wacana yang dilayangkan dengan membaca berita, jurnal, buku, dan informasi lainnya yang akurat untuk membuktikan kebenaran dari isu tersebut, dan yang terpenting juga adalah melihat isi (konten) yang disampaikan bukan dari sudut siapa yang menyampaikan, akan tetapi bagaimana konten atau isi penyampaian itu.

Karena banyak dari kita terperdaya dengan gaya penyampaian yang pada awalnya sudah ada empati terhadap subjek tertentu. Sehingga, apapun yang disampaikan menjadi satu kebenaran bagi kita. Misalnya, kita suka terhadap Fahri Hamzah membuat kita selalu mengagungkan pernyataan Fahri Hamzah itu benar walaupun kadang juga keliru, dan ini yang dikhawatirkan karena jika kita ada pada posisi ini, maka cara pandang kita tidak lagi objektif dalam menilai sesuatu. Banyak karakterisasi subjek analisis, seperti halnya:

  1. Pandangan Politisi, pastinya akan berargumen sesuai dengan kepentingan orang, kandidat atau pihak yang didukungnya, misalnya Adian Napitupulu, tidak mungkin menyatakan satu pendapat yang merugikan partainya PDIP, pastinya ia akan mendukung mati-matian tanpa memikirkan benar atau salah. Begitu juga dengan Yusril Ihza Mahendra, tidak mungkin memberikan kritikan terhadap koalisinya di barisan Prabowo-Gibran, karena mereka tidak lagi bicara salah atau benar tapi yang dipikirkan adalah pendapat ini punya manfaat atau tidak terhadap kemenangan kandidat yang diusung.
  2. Pandangan agamis, mereka yang berdalih berdasarkan dalil agama, banyak perbedaan tafsir sehingga memunculkan juga perbedaan pandangan dari sudut pandang agama. Misalnya, banyak ustaz dan kyai yang berbeda pandangan, ada yang membela kandidat A, ada yang membela kandidat B, dan seterusnya, mereka punya dalil agama masing-masing.
  3. Pandangan Agamis-Politis, adalah mereka yang memberikan analisis politik menggunakan agama, bahkan menjadikan agama sebagai kekuatan politik, ini yang disayangkan, sebab tafsir agama disesuaikan dengan kepentingan individual atau kelompok tertentu sehingga tafsir agama yang digunakan tidak lagi objektif.
  4. Praktisi Hukum, tentunya kita tahu bahwa analisis yang digunakan oleh praktisi hukum yaitu analisis yang bersandar pada hukum, artinya analisis yang digaungkan adalah analisis yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) walaupun banyak praktisi hukum yang berbeda pandangan terkait dengan dinamika politik hari ini, namun kita bisa menilai penyampaian dari praktisi hukum tersebut.
  5. Akademisi, mereka adalah orang terpelajar, menuntut ilmu di perguruan tinggi, tentunya analisis mereka adalah analisis ilmiah atau analisis yang bersandar pada ilmu. meskipun banyak di antara kita yang ragu dengan analisis para akademisi dengan alasan yang kurang objektif, misalnya komentar dosen UGM terkait kepemimpinan Jokowi, menuai pro-kontra, ada yang mengatakan kalau dari UGM berarti punya afiliasi dengan Mahfud, namun yang harus diperhatikan bukanlah itu namun bagaimana konten yang disampaikan oleh dosen-dosen UGM ini agar kita bisa memperoleh urgensi daripada analisis tersebut dan terpenting dari analisis akademisi adalah soal objektivitasnya.
    Karena di era kontemporer, banyak juga akademisi yang menilai bukan lagi pada substansi tapi bagaimana dompet bisa berisi, saku celana tidak kosong, dan ada cuan untuk beli rokok dan kopi padahal seharusnya sebagai akademisi kitalah garda terdepan untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat dengan analisis yang objektif.