Pertama, Petisi Bulaksumur yang diprakarsai oleh para guru besar UGM menjadi penanda yang kemudian diikuti oleh kampus-kampus lain di Indoensia. Seketika berita tentang petisi bulaksumur menjadi viral diberbagai media massa. Berikut adalah penggalan berita atau peristiwa. ”Media sosial digemparkan dengan berita akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) membacakan Petisi Bulaksumur yang ditujukan untuk Presiden Joko Widodo. Potongan video pembacaan petisi itu pun viral di media sosial” (media Tribunjogja.com, 1/2/2024).
Framing media terkait petisi Bulaksumur ini pun kemudian menggema. Isi petisi dalam hitungan detik tersebar diberbagai grup WhatsApp yang kemudian dikonsumsi publik. Dengan tak berjarak, spontanitas gerakan ini diikuti oleh kampus-kampus lain di Indonesia, di antaranya tercatat, UI, UII, Unkhair, Unhas, Unpad, UB, Undip, UPI, UIN dan Syarif Hidayullah, yang mendeklarasikan seruan demokrasi dan netralitas penyelenggara pemilu. Selanjutnya framing media pada pihak yang membela pemerintah perihal akademisi mengkritisi presiden Jokowi datang dari Istana melalui staf khusus Ari Dwipayana. Yang mana ia menyebutkan bahwa kalangan akademisi yang mengkritisi pemerintah adalah bentuk dari strategi politik partisan. Berikut kutipannya “Tanggapan Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana soal ramai kampus bergerak, guru besar dan sivitas akademik melayangkan kritik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menuai polemik. Pernyataan Ari yang menduga adanya strategi politik partisan untuk kepentingan elektoral menyulut amarah kaum akademisi” (Tempo.co).
Pernyataan staf khusus presiden ini kemudian dikecam oleh dua guru besar, yakni Prof. Harkristuti dari UI dan Prof. Koentjoro dari UGM yang menyatakan bahwa mereka bukan partisan. Petisi yang kami layangkan telah melalui proses kajian. Pihak Istana lainnya yang membela Presiden Jokowi datang dari Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia. Di mana ia menilai bahwa kegaduhan yang dilakukan para guru besar dan dosen adalah bagian dari skenario. Hal ini kemudian ditimpali oleh Prof. Harkristuti bahwa gerakan yang dilakukan oleh kampus jangan dilihat sebagai noise; sesuatu yang berisik tetapi dilihat sebagai voice; perkataan.
Kebisuan Intelek
Di luar dari framing media terkait kritikan terhadap presiden adalah sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film yang dirilis tanggal 11/2/2024 menjadi fenomena tersendiri di tengah bangsa Indonesia yang sebentar lagi akan melaksanakan pesta demokrasi. Film yang dibintangi oleh Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari sedikit banyak mengungkap tentang “praktik kuasa” dari pemerintahan Jokowi. Film ini kemudian mendapat respons dari berbagai kalangan yang terepresentasi pada unggahan akun youtube. Semisal akun youtube Refly Harun yang mengepos film tersebut, dalam hitungan sehari sudah ditonton orang sebanyak 2.293.926; sama halnya dengan pemilik akun youtube PSHK dalam sehari ditonton orang sebanyak 6.395.957. Terlepas apa yang ditampilkan film Dirty Vote adalah bagian dari sebuah edukasi tentang politik.
Gelombang aksi protes yang dilakukan para sivitas akademika, banyak meninggalkan cerita. Di mana aksi mereka yang murni ini, tidak sepenuhnya didukung oleh sesama kolega. Dari mereka masih banyak yang diam. Bungkam terhadap dinamika perpolitikan yang semakin gaduh. Kita tahu bersama betapa getolnya para guru-besar dan dosen yang menginterupsi arah kepemimpinan presiden Jokowi, tetapi di tengah mereka kebisuan intelek diperlihatkan oleh rekan sejawat yang melakukan “pengkhianatan nurani”.
Pendek kata, apresiasi yang tinggi pada setiap gerakan yang dilakukan oleh sivitas akademika dalam menimbang demokrasi. Hari ini, bangsa Indonesia akan melakasanakan pesta demokrasi. Tentu harapan bersama adalah menciptakan pemilu yang berintegritas dengan bersandar pada asas dan norma yang berlaku menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Salam damai untuk Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan