Penguatan terhadap penyelenggara negara, khususnya aparatur penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) memerlukan sinergi bersama KPK, agar upaya pemberantasan korupsi berada dalam satu ritme dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Akan tetapi, selalu saja masalah bawaan dalam hukum tertulis yang masih dirasakan sampai saat ini ialah ketidakselarasan antara das sein dan das sollen. Dilansir dari Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 579 kasus korupsi sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya
yang mencapai 533 kasus.

Di awal tahun 2023, Indonesia kembali mendapat kado buruk soal pemberantasan korupsi. Berdasarkan laporan Indeks persepsi Korupsi (IPK), Indonesia terjun bebas dari skor 38 menjadi skor 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara, sehingga berada pada posisi 1/3 negara terkorup di dunia dan di Asia
tenggara.

Lalu pada 22 november 2023, Polda metro jaya mengumumkan Firli Bahuri (Ketua KPK) sebagai
tersangka kasus dugaan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian. Berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Firli Bahuri telah melanggar kode etik dan terjerat pasal berlapis, yaitu Pasal 12B, Pasal 12E, dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP.

KPK sebagai lembaga negara independen yang menjunjung tinggi integritas penegakan hukum, telah menjadi perbincangan hangat. Meskipun, ini bukanlah pertama kalinya KPK menimbulkan kontroversi dan mendapat kritikan. Sebelumnya, terjadi kontroversi di KPK, yaitu; Tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menyebabkan pemberhentian puluhan pegawai yang tidak lulus tes. Lalu, Revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan kinerja dengan menghilangkan posisi penasihat, kewenangan dalam penanganan kasus dan kurangnya penguatan dari aspek pencegahan.

Melihat fenomena yang terjadi saat ini, kepercayaan publik pada lembaga-lembaga negara semakin mengalami penurunan. Hal inilah yang memunculkan rasa skeptis, KPK yang seharusnya menjadi lokomotif pemberantasan korupsi justru telah memperpanjang krisis legitimasi dalam upaya mewujudkan supremasi hukum. Karena ulah dari para oknum, sekiranya membuat pemberantasan korupsi hanya
menjadi sebuah utopia –khayalan. (*)