Kedua, bahwa revisi UU Desa yang sudah dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR adalah reaksi ketakutan parpol atas ancaman para kades terkait kepentingan pengamanan suara pada Pemilu 2024. Ancaman para kades akan menghabisi suara parpol yang tidak mendukung revisi UU Desa memaksa parpol segera bertindak. DPR langsung patuh dan jinak kepada para kades dan mewujudkan revisi kilat UU Desa sebelum Pemilu 2024 meski tidak termasuk bagian program legislasi nasional (prolegnas) 2023.

Ketiga, bahwa ancaman akan menghabisi suara parpol dalam Pemilu seharusnya dimaknai sebagai tindakan mengganggu Pemilu. Ancaman para kades tersebut dapat dijadikan sebagai bukti permulaan adanya niat menghasut orang lain untuk memilih atau tidak memilih parpol sesuai kepentingan politik para kades. Para kades yang mengancam justru harus diselidiki oleh aparat penegak hukum, bukan diberi kompensasi revisi UU Desa.

Keempat, bahwa hak suara setiap warga negara dijamin Konstitusi RI secara bebas dan mandiri. Tidak ada pihak yang dengan kekuasaan jabatannya dibenarkan cawe- cawe terhadap pemilih untuk memilih atau tidak memilih peserta Pemilu. Maka parpol seharusnya tidak terpengaruh dengan ancaman para kades. Jika ditemukan ada kades yang melakukan tindakan mempengaruhi proses Pemilu berupa ajakan, hasutan justru parpol harus melakukan upaya hukum.

Kelima , bahwa revisi UU Desa terkait perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam 1 periode adalah tindakan penghianatan terhadap reformasi. Pada masa orde baru, 1 periode kades hanya 8 tahun. Pada masa itu terjadi kejenuhan kepemimpinan di desa, demokrasi tidak bertumbuh karena jarak antara satu pilkades ke pilkades berikutnya terlalu lama. Maka semua parpol yang mendukung perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun adalah parpol anti reformasi dan semangatnya lebih buruk dari orde baru.

Keenam, bahwa konflik yang terjadi pasca pilkades yang dijadikan sebagai salah satu alasan revisi UU Desa terjadi akibat pengaruh buruk parpol. Politik uang dalam pilkades terjadi karena sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, jabatan kades dianggap strategis untuk kepentingan parpol.

Ketujuh, bahwa Indonesia sedang mengalami defisit politisi yang berkualitas sebagai akibat dari sistem rekrutmen politik yang buruk. Maka hal ikhwal kegentingan yang memaksa justru revisi paket UU Politik, baik UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilkada, termasuk RUU Pemberantasan Politik Uang dalam Pemilu, bukan UU Desa. Sebab sepanjang parpol tidak berubah, maka Indonesia tetap akan mengalami kemunduran demokrasi.

Kornas akan terus mengawal proses revisi UU Desa hingga akhir. Jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan berdasarkan kepentingan transaksi politik pragmatis dan oportunis, maka Kornas akan mengajukan judicial review UU Desa kepada Mahkamah Konstitusi. (*) 

Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas