Menurut Gufran Ali Ibrahim, Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun Ternate, di era media sosial yang bergemuruh -disrupsi, turbulensi sosial ekonomi serta pergolakan politik yang meruncing menyebabkan klaim itu bergeser ke sesuatu yang lebih internal. Penganut agama-agama sibuk berdebat di dalam “rumah” sendiri dengan koreksi dan negasi yang bercampur baur dan makin bias. Tak aneh jika, kita lebih banyak berdebat dengan gegap gempita apakah Idul Adha tahun ini dirayakan dengan salat berjamaah di tanah lapang atau masjid-masjid pada tanggal 9 atau sehari setelah itu. Narasi dalam perdebatan-perdebatan itu sekali lagi seolah-olah menegasi hadirnya Tuhan-selfie. Tuhan yang “menyukai apa yang kita suka dan membenci yang kita benci”.
Perbedaan itu membingungkan karena sejak awal kita memahami agama sebagai doktrin yang kaku, membangun tapal batas yang tak boleh disentuh dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah ruang suci di mana hukum ditegakkan tanpa kompromi. Tak ada percakapan di luar ruang itu. Kita terkungkung. Bahkan negara tak didengar. Mungkin karena kita telah kehilangan makna bernegara. Bisa jadi karena orang-orang yang mengurus negara terlalu sibuk mewakili Tuhan dalam lisan tetapi abai dalam tindakan. Kata Gufran: “orang-orang merasa seperti baru pulang dari bertemu Tuhan dan bervakansi di surga”.
Kita kehilangan esensi berkurban meski jumlah sapi dan kambing yang disembelih masih sama seperti tahun kemarin. Meski mereka yang berhak menerima daging kurban tak berubah banyak daftarnya. Meski sapi dan kambing sama-sama bingung mengapa ada dua hari raya yang juga berarti ada dua hari eksekusi. Kita menjauh dari keheningan untuk merenung. Melepas yang keliru di masa lalu dan mencari kebaikan untuk menguatkan peradaban. Kita terbiasa menyemburkan kata maaf tetapi maaf itu hanya narasi yang sumir. Maaf seperti bunyi yang memantul dan berulang sehingga kehilangan fitrah. Ia tak mengubah perilaku, mungkin karena kita tahu masih ada lebaran di peron berikutnya.
Saya ingat sebuah puisi pendek yang menggetarkan punya Ibrahim Gibra dalam buku antologi puisi “Musim yang Melupa waktu”.
Hari Raya Kurban
Menyembelih hewan dalam diri
Tinggalkan Balasan