(Kota) Rempah adalah Beban Sejarah
Oleh: Agus SB
Pengajar Antropologi IAIN Ternate
______
ENTAH yang keberapa kalinya, setelah berkali-kali lebih dari separuh hidup, pada Rabu 13 April 2022 kemarin, saya kembali melintasi laut yang memisah-satukan pulau-pulau dari Ternate hingga pulau-pulau Kayoa. Mata saya manatap lanskap umum pulau Ternate sebelum speedboat melewati selat sempit di antara Tidore dan Maitara, ke selatan. Pagi itu cerah. Kumpulan-kumpulan awan tipis menggantung berserak di atasnya. Saya menangkap keindahan pulau-pulau itu, yang selama ini luput dari tatapan (gaze). Pada laut dan pulau-pulau itu menghablur kilauan bening oleh pancaran mentari. Lanskap alam pagi itu mengingatkan saya pada gambar cover buku “Ibu Maluku”, The Story of Jeanne van Diejen, ditulis Ron Heynneman, 2002, Temple House Pty Ltd, Australia.
Tiba kembali di Ternate, 14 April, buku “Ibu Maluku” ini saya buka. Halaman (x), diterangkan sepotong lanskap alam pada cover-nya: “Pemandangan Teluk Ternate, dengan latar Tidore. Kedaton Sultan Ternate (seperti yang terlihat saat itu) ada di depan, dan Benteng Orange dan Kota Ternate ada di sebelah kanan. Lukisan Cat Minyak oleh Antoine Payen (1792-1853) (Koleksi: Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, Belanda)” (p.x). Detail elemen lain dari gambar tidak diterangkan seperti waktu lukisan itu dibuat. Tampaknya dibuat sekitar abad ke-18.
Lukisan sepotong lanskap alam pada cover buku di atas memang tampak indah, tenang, menghanyutkan, jika lama ditatap. Sapuan kuasnya mencitrakan cuaca terang dengan kumpulan-kumpulan awan putih tipis, menggantung berserak di atas pulau. Indah, memesona. Tetapi pulau Ternate, dan pulau-pulau lain di Maluku Utara, bukan entitas abadi yang anti perubahan. Seperti dikatakan Christian Depraetere and Arthur Dahl, “... pemahaman kita mengenai gerakan geotektonik, perubahan level laut, dan proses-proses pembangunan pulau (island-building processes) memungkinkan kita melihat pulau pulau saat ini bukan entitas abadi tetapi sebagai satu citra statis yang ditangkap dari proses terus menerus pertumbuhan dan penyusutan, tersatukan dan terpisahkan, muncul dan lenyap di sepanjang waktu” (dalam Geofrey Baldacchino, 2018, p.21. pp.21-51).
Demikian halnya, pulau-pulau di Maluku Utara bukanlah pulau-pulau statis dan abadi. Penglihatan masa kini tak begitu jelas bagaimana pulau-pulau ini berubah secara fisik dalam proses waktu, kecuali pulau Makean yang jelas separuh gunungnya sobek oleh letusannya tahun 1988, lanskap pantai Ternate tak lagi seperti pada gambar cover buku di atas, pulau Pagama (mungkin ‘Isle’, atau ‘atol’) di Sula telah diselimuti laut, pulau Ge di Halmahera Timur plontos karena aktivitas korporat. Perubahan ini berkosekuensi jauh, dalam arti akibat berikutnya, dalam rentang waktu ke depan.
Sejarah rempah di masa lalu membentuk persepsi saya bahwa pulau-pulau di Maluku Utara adalah monumen-monumen hidup. Di antara pulau lainnya di Maluku Utara, pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makean, termasuk pulau Bacan, populer di dunia abad ke-16 (Turner, 2011:h.xix). Popularitas kelima pulau disebabkan rempah cengkih yang tumbuh di sana. Seperti magnet, popularitas ini menarik para pedagang dan penakluk kolonial; datang, berebutan, berperang, berdamai, mengangkut cengkih, mengangkat jangkar kapal, pulang ke negeri asal. Semua terjadi di lima pulau itu, lalu di pulau-pulau lainnya, hingga kurang lebih abad akhir ke-18 masehi. Dan kini, sejak abad ke 19 hingga saat ini, apa yang tersisa dan penting selain pesona dari pulau-pulau bersejarah ini bagi Maluku Utara sendiri, Indonesia dan dunia internasional?
Komentar