Mungkin kita bisa kembali mengorek sejarah pertandingan sepak bola yang pernah digelar di Morotai sebagai pembanding yang realistis. Sekian banyak pertandingan dilaksanakan dengan segala kekurangannya mulai fasilitas lapangan, perangkat pertandingan (wasit, hakim garis, dan wasit cadangan) belum berlisensi, tidak ada organisasi sepak bola seperti Askab PSSI hingga ketiadaan personel aparat keamanan saat pertandingan dilaksanakan tetapi tidak pernah dilaksanakan tanpa penonton.

Situasi terbalik terjadi saat ini di mana fasilitas lapangan Merah putih (MTQ) relatif megah karena sudah tersedia fasilitas tribun penonton, lapangan bola dipagari, perangkat pertandingan berlisensi, diawasi oleh Askab PSSI serta didukung jumlah aparat kemanan relatif lebih banyak. Namun justru fase lanjutan Piala Bupati Morotai tanpa disaksikan langsung penonton atau suporter. Sungguh keputusan mengherankan serta menghilangkan akal sehat.

Dengan demikian menurut saya benar apa yang dikatakan Mourinho bahwa sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya orang per orang membawa masuk energi negatif ke dalam sepak bola. Memahami sepak bola tak mengharuskan melalui penelitian atau perhitungan rumit, asal mau dan bisa memahami maka setiap orang akan bisa menjelaskannya lebih dari sekadar menikmatinya. Karena sesungguhnya sepak bola telah terbukti mengajarkan kita bahwa perbedaan atau persaingan dalam kompetisi selalu melahirkan persatuan dan kebersamaan walapun tidak jarang dalam situasi tertentu sering melahirkan turbulensi. Namun dalam banyak kasus turbulensi itu dapat dikendalikan dan berakhir dengan kebahagiaan karena kemenangan. Untuk itu demi meminimalisir stigma negatif terhadap penyelenggara Bupati Cup II tidak berkompeten dan tidak merugikan publik Morotai baiknya keputusan pertandingan digelar tanpa penonton kembali ditinjau dan dilaksanakan dengan disaksikan penonton. (*)