Tandaseru — Solidaritas untuk masyarakat adat Marfenfen di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, atas perjuangan merebut tanah adatnya diserukan dalam acara kemah raya Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) wilayah Maluku-Maluku Utara.

Acara Jambore Nasional (Jamnas) yang keempat itu dilaksanakan di Pantai Dabiloha, Tanjung Pilawang, Tobelo, Halmahera Utara, Malut, pun turut diikuti oleh perwakilan pemuda adat dari Kepulauan Aru, Maluku.

Marvens Seltit, pemuda adat asal Aru, menjelaskan sekarang ini tengah terjadi sengketa lahan antara masyarakat adat Marfenfen dan TNI-AL yang kemudian berujung pada konflik sosial berkepanjangan.

“Namun ada itikad baik dari masyarakat adat di sana, kemudian mengambil langkah judicial sebagai bentuk sikap warga negara sekaligus wujud dari ketaatan warga,” ujarnya, Jumat (26/11).

Tetapi, ujar Marvens, upaya di meja hijau kandas. Majelis hakim menolak pengajuan gugatan masyarakat adat Marfenfen, yang seolah-olahnya putusan pengadilan mengabaikan sederet fakta-fakta ketimpangan yang terjadi pada masyarakat adat.

Padahal, masyarakat adat ini berpedoman pada UUD RI 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara dan itu sangat relevan statusnya dengan lahan di Kepulauan Aru.

Selian itu, menurutnya, berdasarkan kronologi yang ia terima dari koalisi sipil dari proses persidangan di Pengadilan Negeri Dobo sampai sidang putusan memperlihatkan ada tumpukan kekesalan terhadap aparat negara yang telah terpendam dalam jangka waktu yang lama.

“Barangkali, ada cerita terkait dugaan aparat TNI AL yang mengawal kepentingan bisnis sering kali keluar dari penuturan masyarakat Marfenfen,” ujarnya.

Seperti kasus illegal fishing misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah mengutarakan bahwa kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura diestimasi mencapai Rp 40 triliun per tahun atau Rp 520 triliun sepanjang 2001-2013.

Begitu juga dengan cerita-cerita eksploitasi sumber daya alam di Kepulauan Aru, seperti operasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh PT Budi Nyata (Djayanti Group) pada zaman orde baru dan perusahaan ikan asal Thailand PT Pusaka Benjina Resources yang ditutup oleh Menteri KKP Susi Puji Astuti pada tahun 2015.

“Oleh kerena itu, seruan #SaveAru dan #KembalikanTanahAdatMarfenfen ini perlu diperluas ke penjuru Indonesia agar perjuangan masyarakat adat Marfenfen tidak sendiri,” cetusnya.