Tandaseru — Halmahera Institute memberikan wanti-wanti kepada Pemerintah Kota Ternate, Maluku Utara, atas rencana mendorong situs geopark Ternate. Pasalnya, lokasi di sekitar situs geologi tersebut dinilai masih bersentuhan dengan aktivitas manusia yang berpotensi merusak situs.
Direktur Halmahera Institute, Iskar Hukum menyatakan, Ternate memiliki situs alam geologi yang melimpah ruah, antara lain kaldera Laguna, blocky lava (Batu Angus) dan kaldera Tolire. Titik-titik ini sisebut juga sebagai warisan alam (benda cagar geologi) sehingga patut dijaga dan dilestarikan oleh masyarkat, pemerintah dan stakeholders.
“Selain daripada warisan alam, aset geologi yang dimiliki Ternate berpotensi untuk dijadikan sebagai geopark (taman bumi) nasional bahkan global,” tuturnya, Sabtu (3/7).
Demi menjaga warisan bumi, sambung Iskar, beberapa negara-negara dunia yang tergabung dalam UNESCO membentuk konsep geopark pada tahun 2004 sebagai upaya perlindungan warisan bumi dengan cara yang sustainable.

Sederhananya, geopark berdasarkan pada keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), serta keragaman budaya (cultural diversity), dimana di dalamnya tidak hanya sebagai tempat konservasi, juga sebagai sarana ilmu pengetahuan serta pengembangan ekonomi masyarakat sekitar.
“Ada beberapa syarat lain untuk pengembangan kawasan goepark, antara lain harus melakukan hasil kajian riset terhadap situs-situs yang memiliki potensi dan wilayahnya juga harus jauh dari aktivitas manusia karena diduga akan mengubah roman asli dari situs geologi,” terangnya.
Keinginan Pemkot Ternate untuk mengembangkan beberapa situs geologi sebagai geopark nasional, kata Iskar, merupakan lompatan yang sangat konstruktif dan patut didukung semua unsur.
“Namun berdasarkan hasil kajian dan observasi di lapangan dari Halmahera Institute, ternyata situs-situs yang ingin dikembangkan menjadi kawasan geopark oleh Pemkot Ternate masih bersentuhan dengan aktivitas manusia yang berpotensi mengganggu dan merusak alam,” ungkapnya.
Karena itu, Halmahera Institute menyarankan kepada pemerintah sebaiknya terlebih dahulu melakukan hal-hal yang fundamental untuk pengembangan geopark.
“Contoh kasus geopark Ciletuh, ditemukan aktivitas tambang batuan dan terpaksa dihentikan oleh pihak pemerintah kabupaten karena dinilai merusak ekosistem alam yang masuk dalan wilayah geopark,” sambung Iskar.
“Selain itu, sejauh ini Halmahera Institute belum menemukan, apakah pemkot telah melakukannya atau belum, yaitu riset mengenai geodiversity, biodiversity dan cultural diversity,” imbuhnya.
Tinggalkan Balasan