Tandaseru — Langkah DPD PDI Perjuangan Maluku Utara mencabut dukungan politik dari Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK) dan Wakil Gubernur M. Al Yasin Ali dinilai sebagai puncak rentetan konflik antara partai pengusung itu dengan AGK.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Helmi Alhadar, saat dikonfirmasi tandaseru.com, Jumat (2/7) mengatakan, langkah PDIP mencabut dukungan dari AGK dan Yasin ini merupakan konflik panjang yang baru diungkapkan secara terbuka.
Hal ini terlihat sejak awal PDIP dan AGK membangun kebersamaan berdasarkan politik pada 2018.
“Jika dilihat sejak awal bahwa AGK merupakan kader PKS, artinya dari PKS AGK menyeberang ke PDIP, (padahal) dua partai ini seperti air dan minyak,” tuturnya.
“Faktanya, PKS adalah partai oposisi PDIP (secara nasional). Namun karena AGK berkepentingan menjadi gubernur, maka mau tidak mau AGK harus menggunakan kendaraan PDIP untuk maju, sementara secara ideologi dia masih terikat dengan PKS. Ini yang jadi masalah,” jabar doktor jebolan Universitas Padjadjaran tersebut.
Saat itu, sambung Helmi, PDIP PDIP merupakan partai besar yang tidak memiliki figur untuk diusung. Sehingga PDIP pun menerima AGK sebagai kandidat yang diusul.
“Maka mungkin ada deal–deal politik yang ditetapkan sebelumnya. Namun setelah AGK terpilih, konflik itu muncul dalam susunan kabinet,” sambungnya.
Konflik ini menciptakan kekecawaan di kubu partai berlambang banteng tersebut.
“Karena PDIP punya harapan yang tidak dipenuhi oleh AGK. Di sisi lain AGK juga mungkin kecewa dengan PDIP, mungkin keduanya sama kecewa,” ungkap Helmi.
Langkah PDIP mencabut dukungan, Helmi berujar, juga tak lepas dari persiapan Pilkada 2024 mendatang. Di mana PDIP melihat perilaku politik AGK saat ini bakal berbeda dengan PDIP untuk kepentingan 2024.
Tinggalkan Balasan