Fransisco Serrao akhirnya tiba di Ternate dan menetap di sana sebagai penasehat Sultan Ternate Bolief. ”Sultan Bolief dan kerabat istana menyambut kedatangan mereka dengan pesta. Sang Sultan, yang menikmati ketenaran sebagai peramal, sebelumnya meramalkan bahwa pada suatu hari akan datang serombongan orang besi dari negara jauh yang bersedia bekerja demi kemasyuran kerajaannya, suatu hal yang kebetulan juga diramalkan oleh Sultan Tidore sebagai kerajaannya”.

Setelah kedatangan Serrao, terjadilah orang Ternate dan Malaka kesibukan lalu lintas pelayaran, terutama kapal-kapal Asia, tetapi di awal 1513 datang juga armada niaga Portugis.

Rupanya kesengsaraan Serrao di laut, dan keuntungannya di darat, telah menemukan bahwa Ternate dan Tidore, dan bukan Banda dan Ambon, yang menjadikan pusat kejadian-kejadian penting di Maluku selama satu abad itu. Sayangnya, kejadian-kejadian itu lebih berkaitan dengan pertikaian ketimbang perdamaian.

Namun kedatangan orang-orang Portugis di awal 1512 setelah berlayar tanpa banyak gangguan kecuali sebuah kapal dan rombongan karam, para penjajah ini menemukan Kepulauan Banda Naira. Penduduk Kepulauan Banda Naira yang sejak mengetahui bahwa orang-orang Eropa sangat menghargai hasil bumi mereka, dengan senang hati menerima kedatangan tamu-tamu kulit putih dan berdagang dengan mereka secara langsung.

Setelah 1 bulan orang-orang Portugis ini berada di Kepulauan Banda Naira, mereka membeli dan memuat kapal-kapal mereka dengan pala, bunga pala dan cengkeh. Penjelajah Portugis membeli semua hasil bumi ini dengan harga yang sangat murah. Dengan harga murah itulah mereka memperoleh keuntungan hingga 1.000 persen ketika menjualnya ke Lisbon.

Walau mereka berada di Kepulauan Banda Naira selama 87 tahun, catatan sejarah Banda pada masa berdomisilinya pendatang Portugis di Kepulauan tersebut yang tidak banyak ditemukan. Catatan yang dibuat penduduk Banda Naira sama sekali tidak ada dan para sejarawan Portugis yang laporannya tentang pulau-pulau lain sedemikian rinci ternyata memilih berdiam diri di Banda Naira.

Untuk memahami lebih jauh lagi, pemaknaan nama Banda Naira, maupun memproteksi jejaknya, membuat saya bangga, karena sudah mengenal Banda Naira. Inspirasi Banda Naira, membuat kita tak lupa pala sebagai komoditas untuk mempertahankan hidup dan menghidupkan. Sudah cukup tetesan darah tertumpah di tanah Timur Indonesia.(*)