Tandaseru — Pengadilan Negeri (PN) Sanana, Kepulauan Sula, Maluku Utara kembali menggelar sidang mediasi gugatan sengketa kredit terhadap Kantor Cabang Pembantu (KCP) BRI Sanana, Senin (10/8). Sidang mediasi kedua ini lagi-lagi belum menemukan titik temu.

Gugatan itu sendiri diajukan Azwin Parasesa Thamrin. Kuswandi Buamona, kuasa hukum Azwin mengungkapkan, dalam sidang mediasi tersebut pihaknya meminta BRI segera memberikan akad kredit dari orang tua kliennya.

“Yang kita ngotot itu akad kredit. Sementara yang ditunjukkan pihak bank itu bukan akad, tapi semacam berita acara,” ungkap Kuswandi pada tandaseru.com.

Kuswandi bilang, pihak bank seharusnya menunjukkan akad kredit agar dapat diketahui apakah dalam kredit tersebut ada asuransinya atau tidak.

“Pihak bank bilang kredit di angka Rp 200 juta itu tidak ada asuransinya. Akad itu kan dibuat di notaris. Bank harus memberikan akad, biar kita lihat di dalam kredit itu ada asuransinya atau tidak. Terus pembayarannya sudah sampai dimana. Kan sudah dibayar nih, kecuali belum dibayar sama sekali,” paparnya.

Selain itu, sambung Kuswandi, pihak bank juga meminta kliennya mengembalikan uang dari debitur kedua, Hartawati. Sedangkan pelunasan kredit yang dilakukan Hartawati sendiri tanpa koordinasi dengan ahli waris debitur pertama, yakni orang tua Azwin.

“Siapa yang suruh Haji Hartawati bayar? Kan ahli waris tidak suruh. Bank harusnya konfirmasi dulu dengan ahli waris, kalau mereka tidak mampu bayar (kredit) ya lelang, kan prosedurnya begitu,” ujar Kuswandi.

Dia menambahkan, gugatan tersebut dilatarbelakangi persoalan tunggakan kredit macet dari orang tua Azwin dengan jaminan rumah bersertifikat milik orang tuanya. Kliennya mengajukan gugatan terkait masalah kredit tahun 2010 lalu atas nama orang tua klien.

Menurut Kuswandi, selama menjadi debitur di BRI, orang tua klien telah melakukan pembayaran angsuran kredit Rp 200 juta kepada tergugat sejak Mei 2010 sampai Maret 2011. Angsuran per bulan besarannya Rp 2,5 juta. Maka dalam kurun waktu tersebut, orang tua klien telah membayar angsuran sebesar Rp 27,5 juta.

“Karena kesehatan orang tua klien saya terganggu, maka angsuran belum bisa terbayar sejak April 2011 hingga orang tua klien tutup usia pada 24 Agustus 2011,” terang Kuswandi.

Setelah orang tua klien meninggal dunia, pihak bank tak pernah memberikan peringatan jatuh tempo kredit berupa SP1, SP2 dan SP3. Tiba-tiba pada akhir 2011 Hartawati datang dan meminta Azwin dan keluarga mengosongkan rumah milik mendiang orang tuanya itu.

Kuswandi menduga, BRI telah mengalihkan kredit kepada pihak lain, yakni Hartawati, tanpa persetujuan dari ahli waris. Begitu kredit lunas, Hartawati lantas menjual rumah tersebut kepada Herman.

“Harusnya pihak bank melakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UU Hak Tanggungan) apabila objek jaminan berupa tanah dan atau bangunan, atau lelang eksekusi atas fidusia sebagaimana dimaksud Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) apabila objek jaminan berupa barang bergerak, seperti kendaraan,” paparnya.

Dalam perkara ini, Hartawati dan Herman juga ikut digugat Azwin. Meski orang tua Azwin sudah sempat membayar kredit, dalam mediasi kedua pihak bank meminta ahli waris mengembalikan modal pokok dari awal.

“Sedangkan orang sudah pernah bayar. Setidaknya ada pengurangan nilai, ini malah disuruh bayar full,” cecar Kuswandi.

Bahkan, dia membeberkan, rumah milik kliennya ini dialihkan ke Hartawati, kemudian Hartawati mengajukan kembali kredit ke BRI sebesar Rp 400 juta.

“Hartawati diberikan Rp 200 juta, Rp 200 juta diambil pihak bank. Berarti pihak kedua ini mengambil keuntungan dari objek (rumah). Pertanyaannya, kenapa bank berani cairkan anggaran dengan jaminan atas nama orang lain? Bank berani gunakan sertifikat orang lain untuk mencairkan uang ke orang lain tanpa sepengetahuan ahli waris,” ungkap advokat muda ini.

Kuswandi menegaskan, tindakan bank ini sudah termasuk perbuatan melawan hukum.

“Karena bank tahu prosedur-prosedurnya, kenapa bank melanggar prosedur-prosedurnya? Bahkan dengan gampang bank bilang sudah lunas. Kalau sudah lunas ya kembalikan objek (rumah) dan sertifikatnya, kenapa mereka tahan? Masalah pihak ketiga tidak ada urusan dengan kami, itu urusan pihak bank dengan mereka. Kliennya saya tidak menyuruh mereka bayar,” ujarnya.

Kalau bicara angka-angka, kata Wandi, kliennya sudah mengalami kerugian yang cukup banyak, bahkan sudah melebihi nilai kredit.

“Pertama, klien saya dikeluarkan dari rumah dan harus cari kontrakan untuk disewa. Seharusnya prosedurnya tidak begitu. Harusnya bank lelang, kalau (jaminan laku) Rp 400 juta kan ada sisa Rp 200 juta bisa dikembalikan ke ahli waris,” terangnya.

Senin (17/8) mendatang, rencananya mediasi ketiga digelar. Agendanya adalah penyerahan akta kredit.

Pihak terlapor Hartawati dan Herman yang coba diwawancarai awak media usai mediasi memilih menghindar. Keduanya langsung bergegas meninggalkan PN Sanana.

Pimpinan KCP BRI Sanana, Rahmat menunjukkan sikap yang sama. Saat akan diwawancarai, Rahmat beralasan dirinya hendak makan siang.

“Saya belum makan siang,” akunya.

Saat tandaseru.com mendatangi KCP BRI Sanana setelah jam makan siang, seorang security menyatakan Rahmat masih kelelahan karena baru tiba dari Ternate Senin pagi.

“Bapak masih mabuk laut. Soalnya baru tiba dari Ternate tadi. Bapak bilang kalau boleh datang besok,” ucapnya.