Oleh: Asmar Hi. Daud
Festival Kora-Kora 2025 telah berlalu. Dimulai pada 19 Juni dan dijadwalkan berakhir malam 21 Juni. Tapi yang belum usai adalah pertanyaannya: ada apa sebenarnya dengan festival ini?
Malam puncak festival dibatalkan karena cuaca buruk. Hujan deras mengguyur Kota Ternate, memicu banjir bandang di Jambula, Sasa, dan Gambesi. Warga dievakuasi tim SAR pada malam yang seharusnya jadi puncak kegembiraan.
Ironisnya, ini bukan kejadian pertama. Pada 25 Agustus 2024, peristiwa serupa juga terjadi dalam festival yang sama. Saat itu, banjir melanda Kelurahan Rua hingga menelan korban jiwa.
Pertanyaannya makin dalam: Apakah ini sekadar kebetulan? Atau ada pesan yang coba disampaikan oleh alam?
Di Ternate, kora-kora bukan sekadar perahu. Ia simbol kekuasaan, spiritualitas, dan peradaban maritim Kesultanan. Armada panjang dengan pengayuh gagah itu dulu melintasi samudra sebagai kapal perang, alat diplomasi, hingga penghormatan terhadap laut sebagai ruang sakral. Ia merekatkan manusia, laut, dan langit dalam satu harmoni kosmologis.
Kini, dalam gegap gempita Festival Kora-Kora tiap tahun, warisan itu perlahan memudar. Terkurung dalam kemasan pariwisata, parade pantai, dan replika fiberglass yang jauh dari akar sejarahnya.
Pemerintah Kota Ternate menyebut festival ini sebagai ajang promosi budaya dan ekonomi kreatif. Sejak masuk Kharisma Event Nusantara (KEN) 2023, Festival Kora-Kora bahkan diklaim menuju pengakuan UNESCO. Tapi di balik euforia itu muncul pertanyaan: Apa sebenarnya yang diwariskan? Apakah ruh kora-kora masih hidup, atau hanya tinggal kulit untuk kepentingan panggung?
Fiberglass bukan kayu sukun. Parade di Landmark bukan ritual pelayaran. Yang menyakitkan, masyarakat adat, pembuat perahu tradisional, bahkan Kesultanan, sering tak dilibatkan secara bermakna. Festival berubah jadi tontonan—bukan ruang pewarisan.
Dua tahun berturut-turut, malam puncak festival selalu diguyur hujan, disertai banjir dan korban jiwa. Ada yang menyebutnya “kutukan laut.” Tapi bagi mereka yang hidup dalam budaya maritim, itu adalah bahasa alam. Teguran. Peringatan. Bahwa laut sebagai ruang sakral telah diubah menjadi panggung kosong.
Bandingkan dengan Banda Neira. Di sana, Festival Kora-Kora bukan sekadar lomba cepat. Perahu dibuat dari kayu, setia pada bentuk asli, lengkap dengan ornamen simbolik. Masyarakat terlibat penuh. Tema festival terhubung dengan sejarah, dan ritual adat membuka setiap rangkaian acara. Festival menjadi ruang edukasi dan pewarisan hidup, bukan sekadar atraksi wisata.
Sementara di Ternate, siapa nakhoda? Siapa panglima? Siapa pengayuh? Tak ada penjelasan. Tak ada dokumentasi bentuk asli perahu—panjangnya, jenis kayunya, simbol apa yang menghiasi lambungnya. Yang ada justru lomba perahu plastik yang dibuat tergesa-gesa dan miskin makna.
Festival ini tak bisa lagi didekati secara seremonial. Sudah saatnya dimaknai ulang sebagai gerakan pemulihan budaya. Pemerintah perlu membentuk Tim Rekonstruksi Budaya Kora-Kora—berisi Kesultanan, budayawan, pembuat perahu, dan sejarawan. Susun panduan resmi soal bentuk, nilai, dan ritus kora-kora. Bangun kembali satu perahu asli dari kayu, bukan untuk dilombakan, tapi untuk dihormati sebagai bahtera leluhur.
Libatkan para tukang perahu dari Hiri, Moti, Mare—mereka yang tahu bahasa kayu dan bisikan laut. Adakan ritual adat sebelum festival dimulai. Ajak masyarakat tak hanya menonton, tapi ikut menghidupkan. Karena laut dalam budaya kita bukan benda mati. Ia hidup. Ia punya jiwa. Dan ketika laut tak lagi bisa bersuara, daratanlah yang akan mengamuk.
Festival Kora-Kora seharusnya menjadi pengingat: bahwa Ternate adalah kota pulau, anak laut, pewaris kekuatan maritim yang pernah disegani dunia. Maka jangan gantikan kora-kora leluhur dengan perahu cepat berbahan resin. Jangan tukar sejarah dengan brosur.
Karena warisan budaya bukan untuk dijual cepat, tapi untuk dijaga lama.
Karena sejarah bukan sekadar dikenang, tapi dihormati. Dan karena laut bukan untuk ditaklukkan, tapi disyukuri.
Jika kita terus mengabaikan pesan-pesan laut dan langit, bisa jadi suatu saat festival ini akan tinggal seremonial tanpa jiwa. Yang hilang bukan cuma perahu kayu, tapi juga koneksi kita sendiri dengan laut—rumah kita yang sesungguhnya.
Mari kita dengar kembali suara kora-kora—dari ombak, dari kayu tua, dari nyanyian dayung yang menyatu dengan angin. Suara yang memanggil kita pulang—kepada akar, leluhur, dan laut yang pernah memberi kita rumah dan hidup.
Tinggalkan Balasan