Oleh: Thomas Ch. Syufi
Advokat dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) tinggal di Kota Jayapura, Papua
________
TERSIAR kabar wafatnya mantan Presiden Uruguay yang terkenal dijuluki sebagai presiden termiskin di dunia, Jose Alberto Mujica Cordano (89) pada 13 Mei 2025, mengundang empati dan dukacita yang mendalam dari masyarakat dunia, termasuk bangsa-bangsa Amerika Latin. Para pemimpin Amerika Latin pun segera memberikan respons yang beragam secara sopan dan patut kepada senior politisi, presiden, aktivis, revolusioner, negarawan, dan pemimpin populis itu. “Dengan kesedihan mendalam, kami mengumumkan wafatnya kamerad kami, Jose Mujica,” tulis Presiden Uruguay Yamandu Orsi, Selasa (The Guradian, 13/5/2025).
Orsi yang juga satu partai Gerakan Partisipasi Rakyat (Movimiento de Participacion Popular/MPP) dan sebagai murid Mujica tentu sangat terpukul atas peristiwa kematian seniornnya ini. Karena Mujica yang dianggap telah pensiun dari jagat politik Uruguay tahun 2020, namun tetap sebagai tokoh sentral negara itu sekaligus jadi salah satu juru kampanye Orsi untuk menggalang dukungan massa yang kemudian sukses mengantarkan mantan guru sejarah berhaluan kiri itu ke kursi Presiden Uruguay pada putaran kedua pemilihan presiden (Pilpres) Uruguay, 24 November 2024. Orsi berhasil membatalkan kemenangan Alvaro Delgando, satu-satunya rival politiknya dari koalisi konservatif yang sedang berkuasa saat itu untuk merebut kursi presiden. Di kantor pusat MPP, dibentangkan spanduk raksasa mengenang Jose Mujica, dengan tulisan, “Hasta siempre, viejo qurindo”(sampai nanti, teman lama).
Selain Orsi, banyak warga Amerika Latin yang juga menangisi dan merasa kehilangan atas wafatnya tokoh yang dianggap sebagai simbol representasi politik kaum tradisionalis Uruguay ini. “Kehilangan seorang revolusioner rakyat, yang bekerja untuk rakyat dan yang termiskin, dengan nilai manusia yang tak terhitung: manusia sederhana dan pria berharga dari Amerika Latin,” kata Humberto Cruz, melalui akun media sosialnya. Warganya di Montevieo juga menumpahkan tangisan yang sama tentang kepergian Mujica yang dikenal sederhana dan merakyat. “Dia merasakan dan hidup seperti orang biasa, tidak seperti kebanyakan politisi kaya masa ini,” kata Walter Larus (53), Kompas, 14 Mei 2025.
Sederet pemimpin Amerika Latin berhaluan konservatif, moderat, maupun liberal progresif pun ikut merasakan duka yang mendalam atas mangkatnya Mujica. Misalnya, Presiden Brasil Lula Luiz Inacio Lula da Silva yang menyebut warisan Mujica sebagai seorang humanis terbesar di era sekarang, dengan warisannya yang menembus batas Uruguay. “Kebijaksanaan kata-katanya yang membentuk kidung persatuan dan persaudaraan sejati di Amerika Latin,” kata Lula, yang baru saja dengan Ibu Negara Rosangela Lula da Silva pulang dari Roma setelah bersama lebih dari 123 perwakilan, kepala negara dan kepala pemerintahan menghadiri upacara pemakaman Paus Fransiskus, Sabtu, 26 April 2025.
Mantan Presiden Bolivia, Juan Evo Morales, yang merupakan orang pribumi pertama menjabat sebagai kepala negara sejak penjajahan Spanyol lebih dari 470 tahun itu mengungkapkan perasaan dukacita yang mendalam. Dengan memuji kebijaksanaan dan kekayaan pengalaman Mujica. Tentu pengakuan Morales berakar pada riwayat dan sejarah hidup Mujica yang panjang sekaligus beraneka warna dan penuh zigzag, entah sebagai aktivis, gerilyawan, presiden, dan negarawan altruis yang tanpa ragu dan takut, dengan berani mengambil jalan perjuangan yang pernuh pengobanan darah dan air mata untuk mewujudkan kebebasan bagi rakyatnya. Seperti kata-kata Mujica dalam bahasa Spanyol (bahasa nasional Uruguay) “Nunca havera um mundo melhor se nao lutarmos para melhorarmos a nos mesmos” (tidak pernah ada dunia yang lebih baik jika kita tidak berjuang untuk memperbaiki diri). Artinya, berjuang untuk memperbaiki diri berarti melakukan usaha secara sadar, konsisten, dan bekelanjutan untuk meningkatkan kualitas dalam diri dalam berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, sumber daya manusia, dan spiritualitas. Memperbaiki diri juga bukan sekadar keinginan dan ekspektasi, tetapi memerlukan tindakan nyata dan upaya yang terencana dan sistematis dengan totalitas serta komitmen yang teguh.
Mungkin bagi Mujica, setiap pencapaian dalam perbaikan diri akan meningkatkan kepercayaan diri dan rasa percaya pada kemampuaan sendiri, sebagai salah satu wujud independensi bangsa Uruguay yang berdaulat dan mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Bukan terus menjadi Uruguay yang dependensi, tergantung serta menjadi budak dan objek kepentingan bangsa lain, termasuk membiarkan diri menjadi sapi perah negara-negara barat dan Amerika Serika yang acapkali meniupkan api konflik, yang membakar kondusivitas geopolitik Amerika Latin, dan menyulut keriuhan yang tak berkesudahan.
Sebagaimana mereka juga sukses membuka ladang konflik di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Lantaran itu, salah satu pemimpin termuda Afrika yang paling militan dan visioner pasca-Jullius Nyerere, Patrice Lumumba, Sankara, Nkruman, Biko, dan Robert Mugabe, yakni Ibrahim Troare Presiden Burkima Faso (salah satu koloni Prancis di Afrika) dalam pesan terbukanya kepada Paus Leo XIV sekaligus meminta dukungan moral dari pemimpin gereja Katolik sedunia itu, dengan mengkritik para pemimpin barat bahwa mereka datang mengeruk mineral kami seraya mengajarkan moral yang mereka sendiri tidak mengetahui dan sukar mengamalkannya (byeon.com, 11 Mei 2025).
Atas semangat anti-penindasan dan penjajahan itulah Jose Mujica memberanikan diri mengambil jalan paling tidak disukai kebanyakan orang. Ia terjun langsung menjadi gerilyawan kota yang dikenal dengan nama Gerakan Pebebasan Nasional Tupamaros (Movimiento de Liberacion Nacional –Tupamaros/MLN-T), mengangkat senjata melawan ketidaktatoran. Karena aktivitasnya itu, ia pernah ditangkap, disiksa, dan dipenjara 14 tahun selama kediktatoran militer pada tahun 1970-an sampai 1980-an, yang dipimpin oleh Juan Maria Bordaberry (1928-2011) dan Gregorio Alvarez (1926-2016). Bordaberry menjabat sebagai presiden Uruguay dan pemimpin pertama kediktatoran sipil-militer dari tahun 1973-hingga 1976. Dilanjutkan Alvarez menjadi pemimpin terakhir kediktatoran, sebagai presiden Uruguay tahun 1981 hingga 1985.
Pada tahun 2006, Bordaberry ditahan bersama menteri luar negerinya, Juan Carlos Blanco Estrada atas perintah hakim Roberto Timbal. Ia ditangkap sehubungan dengan empat kasus pembunuhan, termasuk kematian dua anggota legislator dari partai oposisi tahun 1976, Zelmar Michelini dan Hector Guitierrez di negara tetangga, Argentina. Jaksa berpendapat itu merupakan bagian dari Operasi Condor, di mana rezim militer Uruguay dan Argentina berkonspirasi untuk melenyapkan kelompok opisisi yang dianggap pembangkan tersebut. Politisi konservatif dan sipil yang mengantar kediktatoran Uruguay kurun 1973-1985 itu divonis 30 tahun penjara pada 5 Maret 2010, karena terbukti menumbangkan negara konstitusi dan melakukan pelanggaran HAM.
Namun, Bordaberry meninggal sebelum menuntaskan masa tahanannya pada 17 Juli 2011. Demikian juga penggantinya, Jenderal Gregorio meninggal dunia pada Rabu, 28 Desember 2016 dalam usia 91 tahun ketika masih menjalani hukuman 25 tahun atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa kekuasaannya (sekitar 6.000 orang dipenjarakan karena alasan politik, dan sedikitnya 230 orang diculik pada rezimnya). Alvarez pun didakwa atas dugaan pelanggaran HAM selama masa kediktatorannya sebagai aktor utama, dan pada tanggal 22 Oktober 2009, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 25 tahun penjara atas 37 tuduhan pembunuhan dan pelanggaran HAM, namun ia meninggal di penjara pada tanggal 28 Desember 2016.
Jadi, pada masa kediktatoran inilah memicu resistensi sekaligus memaksa Jose Mujica terjun menjadi seorang gerilyawan Tupamaro Uruguay yang berani dan kejam, dimulai dari dekade 1960-an. Mujica terjun dalam politik sejak umur 14 tahun. Mujica dan lainnya mendirikan kelompok gerilya perkotaan Tupamaros, saat itu awal tahun 1960-an, terjadi pengangguran massal di Uruguay. Sebagai seorang pemuda, Mujica bekerja untuk Enrique, seorang politikus sayap kiri Uruguay, tetapi mendapat pencerahan politik ketika ia bertemu “Che” Guevara di Kuba pasca-revolusi (1959).
Ketika sebagian besar Amerika Latin menjadi korban krisis dan kemunduran demokrasi, seorang penulis politik dan novelis Uruguay, Eduardo Galeano (1940-2015), yang karyanya memengaruhi seluruh generasi Amerika Latin, sekaligus sebagai penulis kitab suci gerakan anti-imperalis dan sayap kiri benua itu. Bukunya yang terkenal “The Open Veins of Latin America: Five Centuries of the Pillage of a Continent” (1971), mengatakan pembunuhan manusia karena kemiskinan di Amerika Latin adalah rahasia. Uruguay menderita inflasi yang merajalela dan ekonomi yang stagnan. “Amerika Latin menjadi “pembuluh nadi” terbuka yang darahnya terus disedot keluar, bukan hanya pada masa kolonial, tetapi juga pada era keuangan dan perekonimian internasional kontemporer yang hanya melanjutkan sistem imperalis yang telah dibangun sejak kolonial. Sejarah adalah nabi yang melihat ke belakang,” kata Galeano. Artinya, ia menubuatkan apa yang akan terjadi dengan melihat apa yang sudah terjadi.
Kenyataan itu bertentangan dengan glorifikasi Uruguay yang mengawali abad ke-20 dengan gemilang, mengirim wol dan daging sapi ke Eropa yang dilanda perang dan kelaparan. Pada tahun 1930, negara ini menjadi salah satu dari dua belas negara terkaya di dunia berdasarkan pendapatan per kapita, juga menikmati undang-undang jaminan sosial yang tercerahkan, dengan delapan jam kerja sehari dan cuti hamil. Bahkan sejumlah orang menyebutnya Swiss-nya Amerika Latin. Meski populasinya tidak pernah melebihi 3,5 juta jiwa, Uruguay memenangkan Piala Dunia 1930 dan 1950. Namun, Mujica mulai berajak dewasa, keajaban itu runtuh. Sirna. Karena Uruguay dikendalikan oleh penguasa yang tidak memiliki kapabalitas kepemipinan dan manajerial mumpuni, hingga membuat Uruguay jatuh dalam kubangan kediktatoran, korupsi merajalela, dan pelanggaran HAM yang mengerikan.
Mujica dan rekan-rekannya yang dipengaruhi revolusi Kuba dan sosialisme internasonal atau Gerakan Pembebasan Nasional Tupamaros (MLN-T), memutuskan untuk meluncurkan aksi perlawanan rahasia terhadap pemerintah Uruguay. Mereka meniru revolusi Kuba, dengan mengangkat senjata, melakukan perang gerilaya melawan kekuasaan yang despotis dan koruptif. Meski saat itu pemerintah Uruguay dipilih oleh rakyat secara demokratis, namun kaum kiri ini menuduh pemerintah semakin deviasif dan otoriter dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Meski Uruguay tidak memiliki gunung dan hutan yang lebat untuk bersembunyi, dengan kota Montevideo mendominasi dataran subur yang penuh dengan domba dan sapi Hereford berwajah putih, sehingga mereka menjadi gerilyawan kota. Kelompok ini mengambil nama mereka dari seorang pemberontak Peru Abad ke-18, Tupac Amaru II. Tupamaros adalah gerakan luas yang berusaha untuk meningkatkan hak-hak penduduk asli Peru yang menderita di bawah Reformasi Borubon Spanyol di bawah Raja Charles III dari Spanyol (1759-1788), yang memusatkan kontrol administratif, ekonomi, menempatkan pajak, dan beban tenaga kerja lebih berat pada populasi Indian dan Creole. Tupac Amaru II yang memiliki nama lahir Jose Gabriel Amaru adalah seorang pria Peru yag pernah belajar di sekolah Jesuit, kemudian menjadi pemimpin pemberontakan para penduduk asli dan petani mestizo melawan penjajahan Spanyol, kemudian dipadamkan oleh Spanyol dan Tupac Amaru II dihukum mati pada tanggal 18 Mei 1781.
Selain Tupac Amaru II, mereka juga terinspirasi dengan sang pembebas agung Simon Bolivar atau Simon Jose Antonio de la Santisma Trinidad de Bolivar Ponte y Palacios Blanco (1783-1830), panglima perang militer perjuangan kemerdekaan Amerika Selatan yang dikenal dengan Perang Bolivar. Bolivar yang dilahirkan di Caracas, Venezuela itu adalah seorang pejuang revolusioner yang berani dan sukses membebaskan banyak negara di Amerika Latin, seperti Venezuela, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Panama, dan Peru. Bolivar adalah Presiden Gran Colombia, ia memberi nama negara itu, Bolivia.
Sederet kisah gerakan revolusioner dan heroik di Amerika Latin tersebut dapat menginspirasi Mujica dan rekan-rekannya, tanpa ragu melakukan perlawanan terhadap pemerintah Uruguay, untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Mereka ingin menghancurkan tatanan lama dan mencoba sesuatu yang baru, meskipun harus dibayar dengan ongkos yang mahal, darah dan air mata. Untuk mencapai tujuan tersebut, Mujica dan kelompok Tupamarosnya merampok bank, menculik politisi, dan menanam bom. Pada tahun 1970, Mujica diidentifikasi oleh polisi di sebuah bar, yang berakhir aksi baku tembak. Mujica mengeluarkan pistolnya, dua petugas polisi terluka dan Mujica ditembak 6 kali, namun selamat dari maut.
Ia kemudian dikirim ke penjara Punta Carretas bagian selatan kota Montevideo. Pada tahun 1971, ia divonis bersalah atas keterlibatannya dalam pembunuhan terhadap polisi setelah baku tembak tersebut. Dua kali ia berhasil kabur dari penjara, namun ia ditangkap dan dijebloskan kembali ke penjara. Mujica menghabiskan 14 tahun di penjara, termasuk di sel isolasi dan di bawah penyiksaan, yang membuatnya dijuluki oleh beberapa orang “Nelson Mandela” dari Amerika Latin. “Fase kehidupan ini adalah rutinitas bagi mereka yang memutuskan mengubah dunia,” kata Mujica suatu ketika. Ia menambahkan bahwa selama bertahun-tahun di penjara, ia punya banyak waktu untuk mengenal dirinya sendiri.
Pada tahun 1985, terjadi arus perubahan politik nasional Uruguay yang ditandai momentum jatuhnya rezim dikator Gregorio Alvarez sekaligus mengakhiri kediktatoran militer salama 12 tahun. Mujica dan tahanan politik lainnya, termasuk Lucia Topolansky (perempuan berdarah Poladia) yang kemudian menjadi istrinya itu dibebaskan dari penjara. Setelah bebas, Mujica dan Topolansky pindah ke kebun pertanian kecil: menjual tomat dan krisan, lalu terlibat dalam dunia politik.
Mewarisi Gaya Hidup Miskin
Mujica terpilih jadi anggota parlemen setelah 10 tahun dibebaskan dari penjara. Sebagaimana menurut cerita, Mujica mengawali hari pertama kerjanya dengan mengendarai mopednya (sepeda motor kecil dan berpedal) ke gedung parlemen. “Apakah kamu bakalan di sini lama?” begitu sontak penjaga pintu parlemen bertanya kepada Mujica, karena mengiranya seorang kurir. “Saya harap demikian,” jawab Mujica.
Beberapa tahun kemudian harapan itu menjadi kenyataan. Pada tahun 2005, aliansi sayap kiri Frente Amplio berhasil mengantar Tabare Vazguez menjadi presiden untuk pertama kalinya, Mujica diangkat menjadi Menteri Pertanian. 5 tahun kemudian, 2010, Jose Alberto Mujica yang berusia 74 tahun saat itu terpilih sebagai presiden ke-40 Uruguay dengan dukungan 52 persen suara peserta pemilihan umum (pemilu). Itulah jalan panjang politik Mujica, dari gerilyawan ke kursi presiden.
Saat menjadi orang nomor satu di Uruguay, Mujica menolak hidup mewah. Ia menghindari rumah mewah yang disediakan negara untuk presiden, dan memilih untuk tinggal di rumah pertanian (gubukan) sederhana bersamanya istrinya, di pinggir jalan tanah, tepian ibu kota Montevideo. Di rumah sederhana itu kerap terlihat cucian tergantung di luar rumahnya. Airnya berasal dari sumur di pekarangan yang ditumbuhi ilalang. Hanya dua petugas polisi dan seorang anjing berkaki tiga (mengalami kecelakaan saat masih berusia 10 tahun) bernama Manuela yang berjaga di luar. Ia tidak memiliki anak, karena menurutnya waktu mudanya ia habiskan untuk mengurus politik dan revolusi, yang membuatnya terus dicari oleh pihak berwajib, termasuk dipenjara.
Sebagai seorang revolusioner dan petani, ia menggarap lahan sendiri, menanam bunga bersama istrinya. Mujica mengaku bahwa hasratnya terhadap politik, buku, bercocok tanam, diturunkan dari ibunya, Lucy Cordano Giorello. Ia juga suka berpakaian kasual, termasuk pernah mengenakan jas sederhana beralaskan sandal saat melantik Menteri Keuangan Uruguay, Mario Bergara. Tidak menggunakan mobil kepresidenan, tetapi Mujica tetap mengendarai mobil Volkswagen (VW) biru muda buatan tahun 1987. Ia bukan hanya pemimpin yang rendah hati, sederhana, dan penghemat, tetapi juga sosok yang dermawan. Fakta menunjukkan, sebanyak 90 persen gajiny senilai 12 ribu dollar AS atau setara 120 juta, didonasikan untuk kegiatan amal, terutama diberikan kepada masyarakat kurang mampu dan pengusaha kecil. Setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir 2015, ia dilaporkan memiliki kekayaan bersih sebesar Rp 4,9 miliar, sesuatu yang tidak wajar bagi kekayaan seorang mantan anggota senat, mantan menteri, dan mantan presiden.
Jose Mujica memilih hidup miskin di saat ia mencapai puncak kekuasaan tertinggi sebagai presiden adalah sesuatu yang tidak mudah bagi para pemimpin negara atau pejebat publik kebanyakan. Presiden Mujica mengambil jalan yang tidak disukai oleh kebanyakan orang di zaman ini, sesuatu yang dianggap tabu atau tidak identik dengan pejabat publik, yang hidup dengan bergelimpangan harta.
Mujica menawarkan cara pandang dan cara hidup baru tentang kepemimpinan sejati, yaitu butuh totalitas dan pengorbanan. Kata-kata cinta dan perubahan tidak akan memberi dampak apa pun kepada negara dan kemanusiaan, tanpa disertai tindakan nyata. Jose Mujica tidak hanya memperlihatkan dirinya sebagai seorang pejabat tinggi negara yang mencintai orang-orang miskin, tetapi ia sendiri menjelma menjadi bagian dari kemiskinan itu sendiri. Pokoknya, tidak mungkin mencintai orang miskin tanpa mencintai kemiskinana itu sendiri.
Cinta pada negara dan rakyat itulah ia buktikan dengan tinggal di rumah pertanian reyot dan menyumbangkan 90 persen gajinya untuk mereka yang lebih membutuhkan dan menderita. Keputusan untuk membantu orang banyak ketimbang meningkatkan gaya hidup kemungkinan berangkat dari pengalaman pribadinya, yang pernah mengalami masa sulit sejak usia lima tahun ayahnya meninggal dalam kondisi kesulitan uang. Dan dirinya harus bekerja keras membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membantu mengantar roti di toko-toko.
Istri Mujica, Lucia Topolansky pun tetap setia menemani Mujica hidup di pemukiman kumuh, pinggiran kota Montevideo. Meski sebagai ibu negara, bahkan terpilih sebagai Wakil Presiden Uruguay kurun 2017-2020, ia tetap bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka, termasuk menggarap tanah pertanian dengan menanam bunga krisan untuk dijual. Tidak ada kepala pelayan atau kepala rumah tangga yang bisa melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara. Mereka tidak punya pasukan pengamanan presiden (paspampres) yang berjaga ketat di kedimanan presiden, kecuali dua polisi dan anjing Manuela yang menghiasi hari-harinya.
Sebagai istri mantan senator bahkan presiden, tidak membuat Topolansky gelap mata, atau lupa diri, dengan hidup bermewah-mewah. Ia tidak pernah menonjolkan diri sebagai istri pejabat negara di mana pun dia berada, tidak ada tas tangan, apalagi bepergian belanja dengan jet pribadi, tetapi ia naik mobil VW kodok biru muda seperti mobil Mujica.
Mujica menolak tinggal di istana kepresidenan, menghindari tawaran mobil mewah dan fasilitas serba wah yang disedikan negara untuknya, karena itu ia sangat pantas dipanggil presiden termiskin di dunia. Itulah jalan yang menyenangkan bagi Mujica. “Saya disebut presiden termiskin, padahal saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah orang yang bekerja keras demi menjaga gaya hidupnya dan ingin selalu lebih. Saya hidup seperti ini sepanang usia. Saya merasa cukup dengan hidup seperti ini,” kata Mujica (BBC News, 14 Mei 2025).
Mujica tidak hanya terkenal dengan kritiknya terhadap imperalisme, kapitalisme, konsumerisme, hedonisme, dan individualisme, tapi ia juga mampu mempertanggungjawabkan itu melalui contoh hidupnya, baik sebagai gerilyawan yang memperjuangkan perubahan hingga menjadi presiden yang pantang dari segala kemewahan. Mujica adalah seorang pemimpin kontraversial, ada yang membenci (rival politik), tetapi ada yang mencintainya (rakyat). Karena itu, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum menyebut Mujica sebagai contoh bagi dunia dan Amerika Latin. “Mujica menjadi wajah politisi kiri Amerika Latin,” katanya.
Jadi, Mujica tidak mewariskan kekayan material untuk kita, tetapi ia telah mewariskan kekayaan pengalaman dan kebijaksanaan untuk generasi baru Uruguay, Amerika Latin, dan dunia. Ia mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah kekayaan dan kedudukan, tetapi kebijaksaan dan kebaikan bagi sesama manusialah yang menjadi keutaman dalam hidup. Ia mengajarkan tentang nilai sebuah perjuangan yang bernapaskan cinta dan pengorbanan total. Apapun risiko yang dihadapi dalam sebuh perjuangan untuk menggapai kerbaikan dan keadilan yang berakar pada kebenaran adalah hadiah terindah yang disebut pengalaman dan pelajaran. Yang tak menuntut kebencian dan pembalasan dendam, tapi pengampunan sebagai jalan cinta dan perdamaian sejati. Itulah warisan moral tertinggi yang dijarkan Jose Mujica untuk kita, terutama para pejabat publik, agar tidak silau ketika berkuasa, tidak tumbang ketika dikritik, dan tidak terbang ketika dipuji.
Tentu kepergian Mujica ini menyisakan duka yang mendalam bagi dunia, tetapi juga memberi pelajaran yang impresif untuk kita semua tentang cotoh dan keteladanan hidupnya yang sederhana serta penuh bela rasa. Ia mengasihi rakyat dan negaranya melalui totalitas pengorbanan, seperti hidup menghemat, menjauh dari sikap keserakahan dan kesombongan, dan pantang dengan kemewahan di tengah lautan kemiskinan dan ketidakadilan rakyatnya. Itulah warisan terpenting yang harus dipetik oleh kita generasi muda saat ini. Seandainya pun kita tidak bisa meniru Mujica untuk hidup sederhana, miskin, dan beramal kepada sesama yang lain, minimalnya kita jangan menyusahkan orang lain, apalagi merampok dan menjarah apa yang bukan menjadi milik kita: korupsi! “Denscanse en paz (DEP), Jose Mujica! Liberte. (*)
Tinggalkan Balasan