Oleh: A. Malik Ibrahim
_______
SELALU. Dalam setiap saat kita gemar berkelit. Kemudian berbohong lagi. Masih bertengkar lagi. Terus bergibah lagi. Semua orang terlibat dalam bualan, dusta, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran dan perdebatan. Dan siklusnya tetap saling menjegal lagi.
Puasa adalah perjalanan ruhani yang penuh berkah. Madrasah kesehatan yang mulia. Puasa juga merupakan latihan hati untuk bersabar. Ia juga berfungsi membersihkan tubuh dari bakteri, kotoran dan memberi
keseimbangan tubuh bagi gizi yang baik. Oleh sebab itu disebutkan dalam sebuah hadits, “Puasa adalah separuh kesabaran. ”(HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)”.
Dengan berpuasa manusia dapat menyurutkan “ke-aku-annya. ”Karena puasa adalah ibadah yang menyangkut jiwa, kalbu dan akal-budi manusia. Artinya sebagai manusia, kita diajari bagaimana menata kalbu sebagai pusat kehendak dan sistem pengendalian diri. Dan terhadap misteri puasa, orang hanya bisa menimba secara transedental pada hati. Demikian, ia disebut juga shadr (dada), qalbu (hati bagian dalam), fuad (hati yang lebih dalam) dan lubb (hati yang terdalam), merupakan tempat manusia mendengar suara hati yang paling jujur.
Puasa memberi kita perspektif untuk menaklukkan egoisme, sombong, hasad,
adu domba dan bakhil. Seperti cerita Nabi Musa, yang oleh pengikutnya meminta agar Musa berdoa kiranya Allah mau datang menemui mereka. Tiga hari berlalu, Nabi Musa dan kaumnya menunggu dengan harap-harap cemas.
Sayangnya, Allah tidak datang juga. Maka, sekali lagi atas desakan kaumnya Nabi Musa berdoa kepada Allah. “Ya Allah, Engkau berjanji akan datang, tetapi tiga hari telah berlalu, Engkau belum datang-datang juga” (Bagir, 2013).
Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku datang kepadamu selama tiga hari itu. Hari pertama datang seseorang yang kelaparan dan tak kau beri dia makan. Itu Aku”. Setelah itu Allah berkata lagi, “Hari kedua datang kepadamu
seseorang yang kehausan dan tak kau beri dia minum. Itu Aku. Hari ketiga datang kepadamu seorang pelarian dan tak kau terima dia. Itu Aku”.
***
Sedikitnya ada 3 (tiga) kelompok istilah yang dipakai Al Qur’an (Bya, 2004) dalam menjelaskan makna ‘manusia’ secara totalitas, baik fisik maupun psikis. Pertama, kelompok kata al-basyar, kedua, kelompok kata al-insan yang meliputi kata: al-ins dan al-unas, dan ketiga kata bani adam. Seperti kata al-basyar banyak digunakan untuk menggambarkan manusia dari sisi fisik biologis. Sedangkan kata al-insan sering digunakan untuk menerangkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Kata al-basyar misalnya, digunakan untuk menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya, seperti kulit manusia, kebutuhan biologisnya berupa makan, minum, berhubungan seks dan lain-lain. Atau dengan kata lain, bahwa al-basyar digunakan pada gejala umum yang melekat pada fisik manusia, yang secara umum relatif sama di antara semua manusia.
Lalu istilah al-insan yang meliputi kata-kata sejenis seperti, al-ins, an-nas dan al-unas. Menurut Ibnu Manzur, kata al-insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti absara yaitu melihat, ‘alima yang berarti mengetahui dan isti’zan yang berarti meminta izin. Jika ditinjau dari pengertian anasa, maka manusia itu memiliki sifat-sifat potensial, dan aktual untuk mampu berpikir dan bernalar. Dengan berpikir, manusia akan
mengetahui mana yang benar dan yang salah, baik atau buruk.
Kedua, berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk lupa, bahkan hilang ingatan atau kesadarannya. Dan ketiga berasal dari kata an-nus yang berarti jinak, lawan dari kata al-wakhsyah yang berarti buas.
Sedangkan penggunaan kata al-unas dalam Al Qur’an digunakan dalam konteks kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kejahatan, maupun kelompok orang baik dan buruk kelak di akhirat nanti. Ini berarti, bahwa Al Qur’an sudah menetapkan manusia itu makhluk yang suka berkelompok dan cenderung membentuk kelompok sesuai ciri dan persamaannya, seperti persamaan biologis, kebutuhan, kepentingan, suku dan lain-lain.
Setiap jiwa telah ditentukan amalnya yang terdiri dari ajal, rizki, dan keberuntungan atau musibah. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya salah seorang kamu penciptaannya terhimpun dalam perut ibunya selama 40 hari. Kemudian sesudah itu ia menjadi segumpal darah beku. Kemudian sesudah itu ia menjadi sepotong daging. Kemudian Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya, dan diperintahkan-Nya untuk menuliskan empat kalimat, yaitu menentukan rizkinya, ajalnya, dan amalnya, serta musibah atau keberuntungannya”(HR .Muslim).
***
Dalam konteks keadaban politik, sesungguhnya ibadah puasa mengajarkan kita banyak hal. Salah satu adab batiniah dalam berpuasa adalah jangan berdusta atau membuat kebohongan publik. Di negeri ini kebaikan sungguh menjadi barang mahal. Bahkan antara benar dan salah, baik dan buruk, pantas tidak pantas, banyak dibikin kabur.
Mulai dari ijazah palsu, merusak konstitusi, jual beli jabatan, mengambil uang orang dan mengelak dengan keterangan palsu, menyewa lapak untuk kantong pribadi, mengumbar janji (harapan palsu), ambisi diri, kuasa dan bisnis proyek dan berbagai macam pelajaran yang kita saksikan.
Berpolitik sekadar mengejar hasrat kuasa, sehingga penuh dusta dan tipu muslihat. Politik bukan lagi mendengar suara hati; untuk kebaikan banyak orang, tapi lebih dari sekadar pemuas keserakahan pribadi. Segala peristiwa hidup dan kehidupan sehari-hari yang terhampar di hadapan kita sungguh sangat sarat dengan pelajaran harus dicermasti dan direnungkan. Karena manusia itu suka bebal dengan keangkuhan dirinya sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Quran :”Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”(QS Al-‘Alaq : 6-7).
Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, seberapa besar puasa bisa menjadi training untuk membebaskan diri dari pengaruh kebiasaan berbohong? Seberapa besar pula kadar kepercayaan kita terhadap tingkat kemungkaran politik, ekonomi dan hukum di daerah ini? Lalu, bagaimana sikap kepatuhan
kita terhadap keadaban politik pemimpin kita yang tak bisa lagi dipegang omongannya?
Puasa itu dahsyat. Dengan puasa akan membiasakan manusia untuk selalu sabar dan menahan diri. Sebuah proses pembiasaan terhadap jiwa untuk menyukuri nikmat, mengatasi egoisme dan segala bentuk penyakit hati. Puasa adalah mata air untuk nilai-nilai kebaikan. (*)
Tinggalkan Balasan