Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_________
“Di sebuah unggahan di akun Facebook, saya pernah menuliskan pesan bahwa daerah ini hanya butuh dulu : orang yang bisa mendatangkan orang, mendatangkan orang yang bisa membawa orang, mendatangkan orang yang bisa membawa barang, dan mendatangkan orang yang bisa membawa uang. Selebihnya, bisa diterjemahkan”
SAYA agak lega membaca berita media ini. Judulnya, Event dan Perputaran Ekonomi di Kota Tidore Terus Berjalan. Dari media TERBITMALUT.COM [26/06]. Tak penting apakah ini adalah judul berita yang bagus, yang sesuai kaidah jurnalistik atau bukan.
Pesan dalam berita ini disampaikan Wali Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sinen, saat membuka event Sound Fest dan Battle Sound di Pantai Tugulufa Tidore.
Intinya, seperti mulai ada kesadaran bahwa kota ini butuh disambangi banyak orang. Dengan begitu, geliat ekonomi bisa menjadi lebih baik karena meningkatnya intensitas perputaran uang.
Kesadaran inilah yang bikin saya agak lega. Alasannya, sudah lama saya mengimpikan ini. Ada kabijakan pemerintah daerah mengoptimalkan potensi “di luar dirinya”. Suka atau tidak, secara kasat mata bisa diamati bahwa daya saing hingga mungkin fondasi ekonominya masih terbilang rapuh. Sumber daya ekonomi, jenis pendapatan lain dan potensi pembiayaan daerah di luar dana transfer daerah yang bersumber dari pemerintah pusat terbilang sangat rendah. Banyak tema tulisan pendek saya yang sering “menyenggol” soal-soal ini. Bukan apa-apa, berbagi keprihatinan dan pandangan saja. Meski bukan ekonomi, saya berpikir bahwa hal-hal begini adalah sesuatu yang cukup logis, tak butuh analisis ekonomi yang detail. Sama seperti saya mendiskripsikan tentang daya saing Sagu Jai lalu, jenis pangan lokal kita di simpang jalan kebijakan.
Potongan kisah ini, mungkin sedikit gambarannya. Dulu sebelum ada pemekaran provinsi Maluku Utara. Kabupaten Halmahera Tengah masih beribukota Soasio di pulau Tidore. Potensi bahan tambang di Kecamatan Weda dan Wasile belum diketahui. Saat itu, Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Halmahera Tengah dijabat Ud Hakim. Beliau mantan Kepala SMA Negeri 1 Ternate. Ada satu candaan beliau, ironi yang familiar di kalangan para guru. Ketika ada guru yang memohon untuk pindah tugas dari pulau Halmahera ke Tidore, beliau berujar kurang lebih, Anda tetap bertugas saja dulu di pulau seberang, hingga ada informasi bahwa di pulau Tidore sudah ada kegiatan mengeskpor batu, anda datang dan saya pasti tandatangani persetujuan pindahnya. Pesannya sederhana tetapi mendalam maknanya. Ada keprihatinan terhadap fakta, potensi dan daya saing ekonomi yang rapuh. Berbeda faktanya dengan daerah lain di Maluku Utara, yang cukup punya karakteristik daya saing ekonominya. Kita mungkin butuh mendefenisikan ulang basis dan karakteristik kota ini mau di arahkan ke mana.
Usai perhelatan Sail Tidore beberapa tahun lalu, saya pernah membuat tulisan pendek, Selamat Datang di Tidore : Jangan Ada Lagi “Aib Nasional Jilid II” di Pusat Kuliner Tugulufa [ Tandaseru.com, 02/12/2023]. Ini dipicu klaim mahalnya menu di pusat kuliner Tugulufa, oleh banyak pihak, para tamu dari luar daerah.
Saya menulis potongan kalimat ini, secara faktual, daerah ini sangat perlu banyak orang yang berkunjung ke sini untuk turut berkontribusi menggerakkan ekonomi hingga daya beli. Ďengan cara itu, mungkin geliatnya bisa kelihatan. Karena itu, kita berkepentingan menjaga, memelihara dan tidak merusaknya. Karena orang-orang yang datang itu, sudah pasti membawa “dompet” yang berisi duit, bukan berisi kertas kosong. Di sebuah postingan di akun Facebook, saya pernah menuliskan pesan bahwa daerah ini hanya butuh dulu : orang yang bisa mendatangkan orang, mendatangkan orang yang bisa membawa orang, mendatangkan orang yang bisa membawa barang, dan mendatangkan orang yang bisa membawa uang. Selebihnya, bisa di terjemahkan. Dan membuat event nasional di daerah adalah salah satu cara mendatangkan orang yang bisa membawa orang sekaligus membawa uang, dompet tadi. Di dunia kepariwisataan, inisiatif kunjungan berulang adalah salah satu variabel sebuah destinasi itu kompetitif. Kita berkepentingan memelihara dan menjaga ritmenya.
Usai Jumatan tadi, ketika sedang mengobrol di beranda kediaman seorang karib, ada tamu dari wilayah sebelah, provinsi Maluku. Seorang pria paruh baya menawarkan korek api dan cotton buds, menggalang dana untuk pembangunan gereja di kampungnya, di Ambon.
Ada informasi yang bikin kami geleng-geleng kepala. Baru beberapa hari di Ternate, Sofifi dan pulau Tidore, dia membandingkan beberapa komponen biaya hidupnya. Bisa di bilang sangat jauh berbeda dan bikin miris. Kata teman, antara langit dan aspal. Saya jadi ingat, beberapa hari lalu ada undangan diskusi menyoal tingginya komponen biaya ini di kota Ternate, salah satu peringkat tertinggi di Indonesia.
Saya berkomentar pendek, kalau benar ini faktanya maka tak perlu jauh-jauh objek belajar para kepala daerah kita, cukup di Ambon saja. Ibukota provinsi induk dulu, tentu yang paling pantas memberi kita pelajaran bagaimana mengelola daerah dengan cara terbaik untuk kesejahteraan warga. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan