Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_________

Sering tanpa kita sadari, yang namanya brand itu tak semata soal-soal fisikal dan produk benda. Bagaimana memoles sedemikian rupa soal pandangan, sikap dan prilaku kita terhadap sesuatu nilai secara konsisten, itu kelak bernilai branding bagi diri”

ADA ungkapan “kita adalah apa yang kita pikirkan”. Ini menyiratkan bahwa pikiran dan keyakinan seseorang membentuk identitas dan tindakan mereka.

Ketika kita membaca berita, menonton debat di televisi, hingga mendengar obrolan teman di kedai-kedai kopi, kadang diam-diam, atau bahkan dengan respon gestur, kita “menolak” pandangan mereka atas sesuatu hal, atau masalah yang didebatkan. Bisa saja karena ini apriori kita, dengan latar dan motif yang berbeda. Seseorang dengan masa lalu yang kelam, membutuhkan energi dan waktu bertahun-tahun untuk “meyakinkan” orang, bahwa dia telah berubah.

Seorang karib mengakui ini. Dia dulunya “tukang pukul” jalanan, di masa remaja di Tidore. Meski telah jauh berubah, berkiprah di dunia politik, dan di ibukota negara, toh dia merasakan imbas perilaku masa lalunya, ketika berbaur, berdiskusi bareng teman-temannya di kampung ketika berlibur.

Gambaran diri, image itu, bisa melampau waktu yang panjang. Meski juga, semua itu adalah pandangan apriori, kita sulit menghindar darinya. Di sini, kita menyadari bahwa kejujuran, integritas, dan harga diri itu ternyata sangat mahal.

Memang banyak variabel yang bisa di lacak. Latar pendidikan keluarga, pengalaman berinteraksi, hingga variabel medik dalam penelitian dibidang kesehatan, soal gen misalnya. Meski kata teman saya, dalam pandangan pengetahuan hakikat, ada jenis amalan zikir tertentu yang bisa mengikis gen bawaan yang buruk. Tapi itu soal lain.

Apriori, sebelum mengetahui, pengetahuan yang mendahului pengalaman. Lawannya a posteriori. Dari Wikipedia, apriori adalah bahasa Latin prius yang berarti unsur-unsur, dan atau “tidak” atau “sebelum”. Jadi apriori adalah unsur-unsur sebelum, yakni sebelum bertemu dengan pengalaman. Itu kurang lebih. Catatan pendek ini tak mengungkap detailnya.

Bahwa image buruk dan sikap apriori terhadap sesuatu objek atau fakta, sebaiknya di hindari. Faktanya, variabel di luar diri tadi, semisal latar pendidikan dan pengalaman berinteraksi dan saling memahami, kadang sering kalah bertarung melawan dorongan a priori.

Karib saya Guntur Alting, seorang akademisi bergelar doktor di Jakarta, mengomentari sebuah unggahan saya di media Facebook. Temanya soal bunyi toa di menara-menara masjid yang keras. Dalam beberapa tulisan pendek saya, juga sering menyoal ini.

Meski saya merasa telah menyajikan faktanya secara utuh dan berimbang, tentu sekemampuan saya, hingga membandingkan perjalanan hidup saya sejak masa kecil hingga saat ini, yang telah “bertetangga” dengan empat masjid berbeda. Saya meyakini sangat bisa menilai dan membandingkannya dengan logis. Toh, masih ada saja pandangan yang sinis, meski sembunyi-sembunyi. Padahal juga, fakta ini menari-nari di sekitar mereka, pelupuk matanya, di samping telinganya, di banyak tempat yang sering dijumpainya, dan di daerah ini.

Karib saya di Jakarta tadi belum pernah mengalami fakta yang sering saya sodorkan. Yang hebatnya, dia mengomentari melampaui fakta itu, dan ternyata juga itu benar. Ini pengakuan jujurnya. Apa komentarnya yang mendahului fakta yang dialaminya itu, seperti usulan saya, bikin tulisan berikutnya, dia pe judul “Ketika Toa Meneror Umat“, disertai emoji sinis. Dan apa fakta itu? Obrolan telepon kami tak bisa dilanjutkan gara-gara bunyi pengajian murottal di menara masjid telah berkumandang keras. Dan sudah pasti, itu cukup lama.

Karib ini seorang mubalig top dan berkelas, bukan “dai Google” seperti kebanyakan kita. Dia paham benar detail masalah fiqih. Dia berani berkomentar sedikit sinis, apriori di media sosial yang dibaca banyak orang, tetapi pengalaman, fakta yang dialaminya, atau sikap aposteriori-nya, ternyata benar. Kenapa bisa begitu, saya menduga bahwa dia meyakini benar fakta yang saya tulis. Sekurang-kurang saya tidak mengada-ada. Seorang akademisi bergelar tinggi, mengajarnya di perguruan tinggi ternama, berdomisili di Jakarta, plus seorang mubalig bukan kaleng-kaleng, tentu reputasinya dipertaruhkan untuk sepotong komentarnya di unggahan yang receh itu. Dengan begitu, berarti apakah fakta yang saya ditulis punya argumentasi yang kuat, kredibel, dan dapat dipertanggung-jawabkan? Tergantung siapa yang membacanya, melakukan “verifikasi faktual”, hingga menilainya. Bukan dengan duduk ongkang-ongkang kaki, tak tahu faktanya, dan menilai semau isi perut. Fatalnya, jika prilaku begini datang dari orang terdidik dan berpendidkan cukup, dan berdomisili di daerah ini.

Di sebuah tulisan sebelumnya, saya pernah memberi sedikit ulasan bagaimana Jepang berupaya dan bertekad membangun kekuatan tim nasional sepak bola mereka. Butuh 20-an tahun dengan segala sumber daya untuk mengereknya ke level saat ini. Juga Bali, butuh 25 hingga 30 tahun untuk menguji branding-nya, “Ingat Indonesia, Ingat Bali”.

Pernahkah kita membayangkan banyak penulis dan kolomnis hebat di negeri ini, sebut saja sampelnya, Dahlan Iskan dan Gunawan Muhammad, yang coretan-coretan pena mereka, banyak diburu pembaca di berbagai media, dengan rasa apriori, untuk segera menyimaknya? Itu karena para penikmatnya sudah menyimpulkan duluan, bahwa sudah pasti menarik, sebelum membacanya. Kenapa bisa begitu? karena integritas, kejujuran, konsistensi, keseimbangan, dan tentunya sikap tidak apriori, telah cukup lama di bangun, untuk “meyakinkan” pembaca, dan terlanjur menjadi branding mereka. Pembaca sudah terlanjur percaya. Tak mudah.

Tadi malam, saya mendapatkan sebuah tulisan menarik Dahlan Iskan. Ini soal negara Iran yang lagi jadi topik global. Judulnya, Serangan Dompet. Masih membaca judulnya, saya buru-buru men-share-nya di beberapa WAG. Saya menilai apriori juga, bahwa tulisan ini sudah pasti menarik. Mungkin sama dengan karib saya di Jakarta tadi, buru-buru berkomentar sinis karena dia yakin, minimal saya tidak sedang mengada-ada dengan unggahan itu. Wallahua’lam. (*)