Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_______

“Tanpa membaca, manusia kehilangan arah. Tanpa menulis, manusia kehilangan makna.”
(Mohammad Hatta, 1902-1980)

MOHAMMAD Hatta, biasa dikenal Bung Hatta, proklamator kemerdekaan sekaligus Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, tak hanya dikenal sebagai negarawan dan ekonom, tetapi juga dikenal sebagai seorang intelektual yang menjadikan buku sebagai bagian integral dari kehidupannya. “Aku rela dipenjara, asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” ungkap Hatta, dalam salah satu kutipan terkenalnya.

Pernyataan tersebut, bukan sekadar retorika, melainkan manifestasi dari laku hidupnya sebagai manusia merdeka dalam berpikir.

Minat Bung Hatta terhadap buku dimulai sejak masa mudanya di Bukittinggi. Ia menghabiskan banyak waktu membaca di perpustakaan sekolah, bahkan ketika bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).

Tatkala melanjutkan studi ke Handels Hogeschool di Rotterdam, Belanda (1921–1932), kebiasaan membaca Hatta kian terasah. Dalam otobiografinya, Memoir (1981), Bung Hatta mengisahkan bahwa ia lebih memilih membeli buku ketimbang pakaian baru. Bahkan, selama di pengasingan di Digul dan Banda Neira, ia tetap membawa serta koleksi buku-bukunya.

Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Bung Hatta memiliki lebih dari 17 koper berisi buku ketika dibuang ke Banda Neira (Anwar, 2004 : 203). Buku-buku ini menjadi teman setia dalam masa-masa pengasingan, tempat Bung Hatta merenung, menulis, dan menyusun strategi perjuangan bangsa melalui ide dan pengetahuan.

Bagi Bung Hatta, buku bukan hanya alat untuk mengisi waktu, melainkan sarana pembebasan. Ia percaya bahwa bangsa yang cerdas hanya bisa terwujud lewat pendidikan dan literasi.

Dalam tulisannya Demokrasi Kita, Bung Hatta menekankan pentingnya membentuk masyarakat berpikir kritis sebagai fondasi demokrasi sejati (Hatta, 1960 : 43). Pandangannya tentang pentingnya buku sejalan dengan visi pembangunan bangsa berbasis ilmu pengetahuan, bukan sekadar kekuasaan.

Ia pun menulis banyak artikel dan buku yang menunjukkan kepekaannya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial yang berbasis nilai-nilai keadilan. Salah satu karya terkenalnya, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, menjelaskan bahwa kemajuan tidak bisa dicapai tanpa kebudayaan baca dan nalar kritis. Dalam buku ini, Hatta menyatakan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang berpikir dengan buku, bekerja dengan ilmu, dan berjiwa merdeka” (Hatta, 1954 : 12).

Buku dan Etika

Setelah Indonesia merdeka, perpustakaan pribadi Bung Hatta tetap menjadi bagian penting dari hidupnya.

Di rumahnya di Jalan Diponegoro No. 57 Jakarta, koleksi ribuan bukunya tersimpan rapi. Setelah wafatnya pada tahun 1980, sebagian dari koleksi ini disumbangkan ke Perpustakaan Nasional dan perpustakaan Universitas Bung Hatta di Padang. Menurut Nurkholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban, Bung Hatta adalah contoh teladan muslim modernis yang menjadikan literasi sebagai bentuk ibadah sosial (Madjid, 1992 : 214).

Bung Hatta membaca dalam banyak bahasa: Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis. Hatta melahap karya-karya tokoh seperti Karl Marx, Max Weber, Immanuel Kant, hingga tokoh-tokoh Islam seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Hal ini menjadikannya seorang pemikir multidisipliner yang mampu menjembatani tradisi Timur dan Barat dalam pembangunan bangsa.

Bung Hatta tidak hanya membaca buku, ia juga menulis dengan ketekunan luar biasa. Etika dan integritasnya sebagai pemimpin banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan klasik dan filsafat moral.

Dalam Memoir (1981), ia mengaku sangat terinspirasi oleh buku Ethica Nicomachea karya Aristoteles, yang membentuk pandangannya tentang keutamaan dalam kepemimpinan (Hatta, 1981 : 78). Bagi Bung Hatta, seorang pemimpin harus belajar dari sejarah dan teori, agar tidak terjebak dalam kekuasaan yang buta.

Ketika mundur dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956, Hatta menyatakan bahwa ia lebih memilih menjadi “Bung Hatta yang bisa menulis dan membaca buku” ketimbang terjebak dalam birokrasi kekuasaan yang tidak sesuai dengan nuraninya. Ia menulis secara aktif hingga akhir hayatnya, dan tak henti mengampanyekan pentingnya pendidikan, moralitas, dan pembebasan lewat literasi.

Di tengah kemunduran minat baca masyarakat Indonesia yang diungkap UNESCO (2016) sebagai hanya 0,001—artinya dari 1.000 orang hanya satu yang membaca secara aktif, sosok Bung Hatta menjadi pengingat keras bahwa bangsa ini dibangun dengan semangat membaca dan berpikir. Generasi muda perlu menjadikan Bung Hatta bukan hanya sebagai ikon uang kertas seratus ribu, tetapi sebagai tokoh literasi yang hidupnya dibaktikan untuk buku, ilmu, dan bangsa.

Sebagaimana dikatakan Hatta, “Tanpa membaca, manusia kehilangan arah. Tanpa menulis, manusia kehilangan makna.” Buku baginya adalah obor, dan generasi penerus bangsa adalah mereka yang harus menjaga nyala obor itu tetap hidup. (*)